Opinion By Socratez Sofyan Yoman
Rev. Socratez Sofyan Yoman (foto Dok) |
Tinggal soal waktu saja kita senang atau tidak, mau atau tidak akan kehilangan Papua karena kita gagal merebut hati orang Papua dan itu kesalahan bangsa sendiri dari awal,” (Dr.Adnan Buyung Nasution, S.H. : sumber: Detiknews, Rabu, 16 Desember 2011)
Sebelum dari seorang ahli hukum ternama yang dimiliki Indonesia, Dr. Adnan Buyung Nasution mengeluarkan pernyataan, dalam buku saya yang berjudul: “Suara Bagi Kaum Tak Bersuara” (Yoman: 2009,hal. 63), di Cenderawasih Pos, 08 Juli 2000, pada 12 tahun yang lalu, saya sudah pernah memberikan peringatan.
“Saya berkeyakinan bahwa perjuangan Papua Merdeka akan berhasil setelah membutuhkan waktu yang sangat panjang. Karena itu, kerja keras sangat diharapkan, kibarkan Bendera Bintang Kejora dan kumpul-kumpul setiap hari di posko-posko tidak akan memberi hasil maksimal sesuai yang diharapkan. Kecuali, duduk dan berdoa kepada Tuhan, bekerja, membangun jaringan-jaringan, dialog, diplomasi, lobi dan negosiasi dengan memanfaatkan kemampuan yang diberikan Tuhan kepada kita masing-masing. Pada saatnya Gereja akan mengambil sikap yang jelas, jika diplomasi, lobi, dan doa dari Gereja selama ini menunjukkan titik terangnya. Jangan lupa, bahwa pada prinsipnya Gereja terus berperan aktif mendorong pemerintah Indonesia dan dunia Internasional dalam konteks menegakkan kebenaran, keadilan, kasih, kedamaian, kejujuran, supaya jalur dialog harus dibangun kedua belah pihak.”
Pada media yang sama, Cenderawasih Pos, Selasa, 11 April 2000, pernah saya sampaikan: ” Papua merdeka membutuhkan proses waktu yang sangat panjang. Diperkirakan 10 tahun ke depan bukan tanggal 1 Mei 2000.” Pada bulan yang sama dan di media yang sama, Cenderawasih Pos, 28 April 2000, saya pernah menyatakan: “Masyarakat Papua dapat membangun dirinya sendiri sebagai pelaku pembangunan. Dengan itu panting sekali tawaran Otonomi Khusus diterima, tetapi dengan suatu syarat, kalau 5 sampai 10 tahun tidak nampak hasil Otonomi, kita minta Merdeka lepas dari NKRI saja. Tetapi, perjuangan Papua Merdeka dan Otonomi Khusus biar berjalan sama-sama, agar waktu dan kebenaran yang akan menyeleksi, melalui proses yang wajar dan alami.” Prediksi 12 tahun lalu ini sudah saya muat dalam opini saya dengan judul: “Sejarah…..Siapa Yang Sebenarnya Makar Terhadap Bangsa Papua Barat? Ir. Sukarno: Bubarkan Negara Boneka Bikinan Belanda: Apakah bukan makar? (Bintang Papua, Kamis, 01 Maret 2012, hal. 7. Dan baca juga buku: Yoman: Suara Bagi Kaum Tak Bersuara: 2009: hal. 46, 55).
Saya juga pernah meluruskan pernyataan Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Bapak yang terhormat, Theodorus Hiyo Eluay (alm.) yang mengancam membentuk pemerintahan Transisi, jika Gus Dur lengser dari kursi kepresidenan. “Pernyataan Theys Dinilai Tak Proporsional” pada Cenderawasih Pos,1 Juni 2000. “ Pernyataan tersebut sangat tidak proporsional dalam konteks perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri (Self- Determination). Kemerdekaan rakyat Papua tidak ada hubungannya dengan kapasitas Gus Dur sebagai Presiden atau bukan. Sebab perjuangan rakyat Papua untuk Merdeka adalah cita-cita luhur yang sudah terpatri di hati dan pikiran setiap orang Papua. Untuk penentuan nasib sendiri orang Papua itu sepenuhnya ada di tangan rakyat Papua. Dan untuk mencapai itu, dibutuhkan suatu proses perjuangan yang sistematis, rasional, dengan menegakkan nilai kebenaran, kejujuran, kasih, kedamaian dan nilai-nilai demokrasi dan Hak Asasi Manusia” (Baca: Yoman: Suara Bagi Kaum Tak Bersuara, 2009, hal. 74-75, Baca: Opini: 01 Maret 2012 yang telah dikutip tadi).
Bertalian erat dengan pernyataan di atas, William Jefferson (Bill Clinton), mantan Presiden Amerika Serikat, dalam bukunya yang berjudul: My Life Bill Clinton (2004: hal.109) mengatakan: “ Saya mengadakan percakapan dengan perwakilan perempuan dari Latvia….Dia berbicara dengan keyakinan teguh bahwa suatu hari Komunis Soviet pasti gagal dan Latvia akan memperoleh kemerdekaan. “ Seperti keyakinan dan teguhan hati wanita Latvia ini, dalam konteks Papua, rakyat Papua mempunyai keyakinan iman yang sama demi masa depan rakyat dan bangsa Papua dan anak cucu. Saya yakin, mewakili umat Tuhan yang berkeinginan menentuan nasib sendiri atau berdiri sendiri di atas Tanah leluhur mereka, saya sudah lama merekamnya dari mata hati dan mati iman saya, sebagai salah satu gembala umat. Karena itu saya telah mengabadikan pernyataan iman dan keyakinan umat Tuhan di Tanah Papua yang dikutip di bawah ini. Tentu saja, orang yang tidak sependapat dengan pernyataan ini akan menolak dan akan dikatakan bahwa ini pernyataan eksploitatif, manipulatif, provokatif dan mimpi. Saya sangat menghormati perbedaan. Karena, itu adalah kekayaan dan kekuatan.
“SAYA TAHU, saya mengerti dan juga saya sadar apa yang saya baktikan ini. Karena itu, Anda yakin atau tidak yakin, Anda percaya atau tidak percaya, Anda suka atau tidak suka, Anda senang atau tidak senang, cepat atau lambat, penduduk asli Papua Barat ini akan memperoleh kemerdekaan dan berdiri sendiri sebagai sebuah bangsa dan Negara berdaulat di atas Tanah leluhur mereka. Dalam keyakinan dan spirit itu, apapun resikonya pendapat serta komentar orang, saya dengan keyakinan yang kokoh dan keteguhan hati nurani, saya mengabdikan ilmu saya untuk menulis buku-buku sejarah peradaban dan setiap kejadian di atas tanah ini. Supaya anak-cucu dari bangsa ini, ke depan, akan belajar bahwa bangsa ini mempunyai pengalaman sejarah perjalanan dan penderitaan panjang yang pahit dan amat buruk yang memilukan hati yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia” (Ita Wakhu Purom, Numbay (Jayapura), Papua Barat, Kamis,09 Juni 2011, 21:17 WP). Pernyataan iman ini telah diabadikan dalam buku saya yang ke-13 berjudul: “West Papua: Persoalan Internasional” ( Yoman: 2011, hal.4).
Dr. George Junus Aditjondro mengatakan, “Dari kaca mata yang lebih netral, hal-hal apa saja yang dapat membuat klaim Indonesia atas daerah Papua Barat ini pantas untuk dipertanyakan kembali”. Robin Osborn mengungkapkan, “….bahwa pengabungan daerah bekas jajahan Belanda itu ke dalam wilayah Indonesia didasarkan pada premis yang keliru. Yaitu ketika 1.025 orang delegasi yang dipilih pemerintah Indonesia memberikan suara mereka dibawah pengawasan PBB diartikan sebagai aspirasi politik dari seluruh masyarakat Papua Barat. Kini, premis ini diragukan keabsahannya berdasarkan hukum internasional”. Sedangkan Dr. Karel Phil Erari dengan tegas mengatakan, “Secara hukum, integrasi Papua dalam NKRI bermasalah”. Sementara itu, Dr. Ikrar Nusa Bhakti menyoroti, “Sejak dulu hingga kini, persoalan Irian Jaya bukan hanya persoalan antara Indonesia dan penduduk Papua, melainkan juga persoalan yang menyangkut internasional. Ia bukan hanya mengaitkan hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dan pemerintah, antar pemerintah dan pemerintah, tetapi juga antar GEREJA….”.
Pengalaman dan pergumulan Gereja dalam konteks Timor Leste, Uskup Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB, sebagai seorang gembala dengan tegas pernah menyatakan keyakinan imannya sebagai berikut: “Posisi Gereja Katolik di Timor Timur, pada pilihan apapun, adalah menerima situasi yang dipilih rakyat Timor Timur. Pada situasi ini, pilihan-pilihan yang dianjurkan oleh Gereja adalah pilihan untuk melakukan Referendum. Gereja memberikan anjuran terhadap pilihan ini karena percaya bahwa pilihan terhadap referendum adalah pilihan demokratis yang mampu mengakomodasikan seluruh aspirasi dan suara hati rakyat Timor Timur” (Sumber: Demi Keadilan dan Perdamaian, Peter Tukan-Domingos de Sousa, 1997:hal. 338). Baca juga dalam Opini saya yang berjudul: Gereja Dan Politik DI Tanah Papua Barat, Bintang Papua, Rabu dan Kamis, 25-26 Mei 2011).
Menurut pengalaman Gereja di Tanah Papua, penduduk asli Papua untuk mendapatkan rasa keadilan dan kesamaan derajat dan martabat di rumah yang namanya Indonesia ibarat sebuah tebing yang terjal. Tebing terjal itu semakin jauh dan menakutkan. Akibat pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan pendekatan keamanan dan kecurigaan yang berlangsung hampir lima dekade. Pendekatan pembangunan berwajah kekerasan dan kejahatan kemanusiaan telah membangun tebing yang terjal dan sulit terlewati. Tebing terjal itu sudah berusaha dijembatani dengan tali perekat atau penahan Papua dalam Indonesia namanya “Otonomi Khusus” dengan UU No. 21 Tahun 2001. Hemat saya dan sebagaian kecil rakyat Papua, menilai Otonomi Khusus adalah solusi yang tepat dan keputusan dan bargaining politik yang adil dan berprospek damai. Karena dalam UU Otsus ada amanat keberpihakan (affirmative Action), pemberdayaan (empowering), perlindungan (protection) terhadap penduduk asli Papua atas Tanah dan Negeri mereka. Dalam UU Otsus juga diamanatkan untuk klarifikasi sejarah dan juga pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Otsus juga diberikan mandat untuk pembentukan Peradilan HAM di Papua. Melalui UU Otsus ini dengan Pasal demi Pasal, penduduk asli Papua diberikan harapan dan ruang kebebasan untuk menelusuri tebing-tebing terjal itu tanpa bahaya yang mengancam keselamatan mereka.
Tetapi sayang, UU No.21 Tahun 2001 tentang Otsus itu bukan menjadi jembatan yang dapat menghubungkan terbing terjal antara Indonesia dan Papua. Otsus telah menjadi tebing terjal yang lebih menakutkan, membahayakan dan sangat memprihatinkan keselamatan dan kelangsungan hidup dan masa depan penduduk asli Papua. Tebing terjal yang menakutkan ini berusaha ditutupi dengan kampanye “Otsus banyak uang” di berbagai kesempatan dan media massa oleh para pejabat dan juga pemaksaan mimpi dan akal-akalan UP4B. Perlu dicacat dan ingat: harga diri, martabat dan kehormatan penduduk asli Papua tidak dapat diukur dan digadaikan dengan nilai triliunan rupiah dan kompleksitas masalah Papua tidak dapat diselesaikan dengan mimpi Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).
Dalam Otonomi Khusus banyak nyawa manusia yang diperlakukan kejam seperti hewan oleh penguasa Indonesia. Sebagai contoh: Tiga orang yang ditembak mati oleh aparat keamanan TNI dan POLRI di lapangan Zakheus pada 19 Oktober 2011, pelakunya tidak dihukum, hanya diberikan disiplin. Penyiksa dan pembunuh Pendeta Kindemen Gire dari anggota TNI hanya diberikan hukuman beberapa bulan. Pembunuh Pendeta Elisa Tabuni (2004) oleh kopassus tidak pernah diusut. Pembunuh Yustnius Murip dan delapan rakyat sipil di Yeleka,Wamena (2003), para pelaku dari TNI tidak pernah ditangkap, diadili dan dihukum dan dipenjarakan. Pembunuh Opinus Tabuni pada hari HAM Internasional di Wamena (2009),pelakunya tidak pernah diungkap dan ditangkap. Pembunuh mahasiswa Orry Doronggi dan Jonny Karunggu (2000) di rumah tanahan Polisi Jayapura tidak pernah dihukum dan dipenjarakan.
Pembunuh Omanggen Wonda di Tingginambut oleh anggota Batalyon 756, pelakunya tidak pernah ditangkap dan dihukum.Pembunuh Theys Hiyo Eluay dan sopirnya Aristoteles Masoka diberikan gelar kehormatan pahlawan. Pembunuh Kelly Kwalik (16/12/2009) adalah Densus 88 dan anggota TNI dan POLRI yang terlibat tidak ditahan dan diadili. Pembunuh Yawan Wayeni, Imam Setiawan (mantan Kapolres Serui dan Kapolresta Jayapura) diberikan promosi jabatan ke Mabes POLRI Jakarta.
Otononi Khusus adalah solusi politik atau bargaining politik antara bangsa Papua dan bangsa Indonesia, supaya orang asli Papua tetap dalam Indonesia dengan jaminan untuk melindungi rakyat Papua, pemberdayaan orang asli Papua, keberpihakan kepada orang asli Papua. Tetapi, “dalam realitasnya, Otonomi Khusus memang benar-benar gagal. Otonomi Khusus benar-benar menjadi mesin pembunuh umat Tuhan di Papua dan penghancur masa depan rakyat dan bangsa Papua. Otonomi Khusus benar-benar menjadi alat ampuh proses pemusnahan etnis Papua lebih aman, cepat, sistematis dan tidak menimbulkan kecurigaan-kecurigaan dari masyarakat internasional yang peduli tentang kemanusiaan. Otonomi Khusus adalah lembaga yang memperpanjang penderitaan, tetesan dan cucuran air mata penduduk asli Papua. Otonomi Khusus adalah solusi dan keputusan politik tentang status politik Papua ke dalam Indonesia yang telah gagal. Otonomi Khusus adalah mesin penghancur yang benar-benar meminggirkan (memarjinalkan) penduduk asli Papua dari segala aspek. Otonomi Khusus adalah PEPERA 1969 jilid kedua yang telah gagal dan telah menjadi persoalan baru.” (baca: Opini saya: Otonomi Khusus Telah Gagal di Papua: Bintang Papua, Kamis, 09/02/2012, hal.5).
“Karena itu, saya secara konsisten dan terus-menerus, solusi terbaik yang berprospek damai dan manusiawi yang saya usulkan sebagai bahan pertimbangan pemerintah Indonesia ialah: Pertama, Pemerintah Indonesia dengan jiwa besar harus mengakui kekagagalan dan kesalahan terhadap penduduk asli Papua sejak 1 Mei 1963 sampai hari ini dan harus mengakhiri pendudukan dan penjajahan di atas Tanah Papua. Kedua, Pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua sebagai dua bangsa harus membuat perjanjian-perjanjian kerja sama dalam bidang : ekonomi, keamanan, politik dan bagaimana nasib orang-orang Melayu, Indonesia yang sudah lama berada di Papua dan termasuk penduduk Transmigrasi. Ketiga, Papua dijadikan Tempat Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan juga tempat Tenaga Kerja Wanita Indonesia (TKW) supaya jangan digantung seperti hewan di daerah yang mayoritas beragama Muslim. Demi kemanusiaan dan kesamaan derajat, opsi-opsi atau alternatif-altermatif yang diusulkan ini diharapkan menjadi bahan perenungan dan refleksi pemerintah dan aparat keamanan Indonesia dalam menyikapi masalah Papua dengan bijaksana.” (Baca Opini saya: PEPERA 1969, Otonomi Khusus 2001, UP4B 2011, Bintang Papua, Selasa, 14 Februari 2012, hal.5; Pasific Post, hal.12; dan Opini berjudul: Gereja dan Separatisme Di Tanah Papua Barat, Bintang Papua, 28 Februari 2012). Sudah saatnya kita implementasikan Mukadimah UUD 1945: “Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Dalam konteks Papua: “karena kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, maka penjajahan Indonesia di atas Papua harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
”Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” ( Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925, Pdt. I.S. Kijne). Shalom. Selamat membaca. Tuhan memberkati.
*Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar