Tapol: Felep Karma dan Yusak Pakage (fotoSBP) |
JUBI --- Carmel Budiarjo, pengkampanye senior di Tapol, sebuah organisasi berbasis di Inggris yang menggalakkan hak asasi manusia, perdamaian, dan demokrasi di Indonesia mengatakan bahwa pernyataan Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, tidak ada tahanan politik di Papua – hanya ada narapidana yang melanggar hukum, tentunya membingungkan.
Melalui surat elektronik yang dikirimkan oleh Tapol kepada redaksi (20/12), Carmel berpendapat, pernyataan ini tentu saja menjadi kabar tidak baik bagi orang-orang Papua seperti Filep Karma, Forkorus Yaboisembut dan tahanan politik lainnya yang kini berada di balik jeruji besi karena mengutarakan pendapat dan pendirianya. Apalagi jika dikaitkan dengan sebuah dokumen internal pemerintah yang berjudul “Daftar
Tahanan Politik di Papua,” yang dibocorkan kepada Tapol tahun ini. Dokumen tersebut memuat daftar 25 orang Papua yang ditahan karena dakwaan tindakan makar dan tuduhan terkait lainnya. Selain data pemerintah ini, banyak LSM yang berbasis di Jakarta dan Papua, serta LSM internasional seperti Amnesty International, Human Rights Watch dan Tapol yang memiliki data ekstensif mengenai tahanan-tahanan politik di Papua, yang jumlahnya lebih banyak dari data pemerintah.Dalam pernyataan yang disebut membingungkan itu, Djoko mengatakan hanya terjadi perbedaan pandangan saja antara organisasi internasional seperti Amnesty Internasional dengan pemerintah Indonesia. Karena organisasi-organisasi HAM menganggap orang-orang tersebut sebagai tahanan politik, sementara menurut sudut pandang hukum nasional, orang-orang tersebut adalah narapidana biasa.
Namun menurut Tapol, masalah ini bukanlah soal pandangan. Ini adalah soal hukum dan standar internasional yang telah ditandatangani oleh Indonesia. Jika hukum nasional di Indonesia bertentangan dengan standar-standar tersebut, misalnya Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, maka hukum nasional tersebut harus diamandemen, supaya Indonesia tidak terus-menerus menyalahi kewajiban internasional mereka. Sudah lama masyarakat sipil Papua mengambil posisi ini, bahkan setahun belakangan, tuntutan untuk hak uji materi (judicial review) terhadap undang-undang tindakan makar yang sering digunakan untuk mengkriminalkan kebebasan berpendapat (terutama pasal 106 KUHP), terus meningkat.
Tapol bahkan mengutip pernyataan, Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, pada Oktober 2010 yang ikut andil dalam perdebatan mengenai masalah ini. Dimana Mahfud MD menyatakan bahwa demonstrasi dan tindakan makar adalah dua hal berbeda. “Mengutarakan aspirasi jelas-jelas sah menurut hukum hak asasi manusia di Indonesia”, ujarnya, sambil menambahkan, “Kenapa kita harus takut pada hal-hal seperti demonstrasi? Selama reformasi tahun 1998, kita semua berjuang agar kegiatan-kegiatan seperti ini dapat dilakukan dengan bebas.” Kata Mahfud MD saat itu.
Tapol, juga menegaskan jika saat ini bukan hanya orang-orang Indonesia prihatin terhadap nasib tahanan politik di Indonesia. Selama pengujian situasi HAM di Indonesia oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB tahun 2008, negara-negara seperti Belanda, Kanada, dan Irlandia menyatakan keprihatinan mereka atas digunakannya undang-undang makar untuk memberangus kebebasan berpendapat. Selain itu, PBB baru saja membuat pernyataan resmi bahwa Filep Karma, yang ditahan secara sewenang-wenang pada tahun 2004 dan menjalani vonis 15 tahun penjara karena keterlibatannya dalam upacara pengibaran bendera secara damai, merupakan penahanan yang tidak sah. PBB juga menyerukan pembebasan tahanan-tahanan politik lainnya.
Hanya dalam tempo lima bulan, lagi-lagi Indonesia masuk bahan tinjauan Dewan Hak Asasi Manusia. Perhatian internasional terhadap masalah tersebut semakin besar seiring dengan meningkatnya jumlah demonstrasi di Papua, dan daftar tahanan politik terus bertambah panjang. (Victor Mambor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar