Lambang Bendera PBB (Foto: Antara) |
Selain itu, Komisi Luar Negeri juga meminta agar Belanda mengirimkan diplomatnya untuk memantau keadaan di Papua dan juga menggunakan kekuasaan pemerintah untuk berdialog dengan pemerintah Indonesia agar segera menghentikan segala bentuk kekerasan di Papua.
Pernyataan tersebut terungkap dalam pertemuan antara Parlemen Belanda dan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri Belanda Dr. Uri Rosenthal, pada Kamis (22/12), pukul 16.30 – 18.00 waktu Belanda, di Gedung Parlemen Belanda, Kota Den Haag.
Kepada Papuan Voices, Mesakh Bame, salah satu warga Papua yang sedang bermukim di Boekel, Belanda, mengatakan pertemuaan tersebut adalah yang untuk pertama kalinya dan merupakan peristiwa bersejarah bagi Papua, dan termasuk bagi Belanda.
“Demi menjaga harmonisnya hubungan Belanda dan Indonesia, masalah Papua tidak pernah dibicarakan, tapi saat ini kami bersyukur pemerintah melalui seorang Menteri luar Negeri bersedia memberikan waktunya guna membahas masalah Papua.”
Komisi Luar Negeri juga menyampaikan bahwa apa yang terjadi pada Kongres Rakyat Papua III pada tanggal 19 Oktober 2011, dan peristiwa operasi militer di Eduda, Kabupaten Paniai, pada tanggal 13 Desember 2011 adalah contoh kebrutalan TNI/Polri (pemerintah Indonesia) dalam menangani konflik di Papua.
Lanjut Bame, dalam kesempatan tersebut Komisi Luar Negeri juga meminta agar pemerintah Belanda harus segera bertindak untuk menghentikan setiap tindakan yang tidak manusiawi terhadap orang Papua.
“Semua ini dilakukan karena Belanda merasa memiliki tanggung jawab moril terhadap Papua karena merupakan bekas wilayah jajahan dulu.”
Bame juga menjelaskan, Komisi Luar Negeri juga menuduh pemerintah Australia telah membantu Indonesia untuk memusnahkan orang Papua dengan membantu Densus 88.
Selain itu, tambah Bame, mereka juga mengatakan pemerintah Belanda dan Belgia turut bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi di Papua saat ini, yakni semakin tingginya pelanggaran HAM di Papua sebagai akibat dari hubungan kerja sama kedua pemerintah tersebut dengan pemerintah Indonesia dalam bidang militer.
“Komisi Luar Negeri dengan tegas telah meminta kepada kedua pemerintah tersebut agar segera menghentikan bantuan militer (berupa persenjataan dan lain-lain) kepada Indonesia.”
Dalam pertemuan tersebut, Bame menjelaskan, turut membicarakan operasi militer yang sedang berlangsung di Kabupaten Paniai dan keterlibatan pihak asing (perusahaan tambang emas milik Australia) yang berada di Paniai dalam membantu TNI/Polri dan Densus 88.
Menyoal Otsus, Komisi Luar Negeri mengatakan bahwa sudah sekian tahun berjalan namun tidak ada tanda-tanda keberhasilan, dan justru mereka sendiri menanyakan tentang UP4B.
“Jika Otsus sudah gagal, maka bagaimana dengan paket UP4B nanti?” tanya Bame seperti disampaikan salah satu anggota parlemen dalam pertemuan tersebut.
“Yang paling penting, Komisi Luar Negeri sekali lagi menyatakan kepada pemerintah Belanda bahwa masalah atau konflik di Papua adalah masalah yang serius dan harus mendapat perhatian khusus,” tutupnya.
Pertemuan bersejarah ini terselenggara atas desakan Dewan Gereja-Gereja Pasifik dan lembaga-lembaga hak asasi manusia lainnya, termasuk pasca operasi militer yang berlangsung di Paniai dan telah menelan korban sebanyak 14 orang warga sipil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar