JUBI --- Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) di Jayapura, menilai sampai saat ini pemerintah Indonesia masa bodoh terhadap tragedi kemanusiaan/kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Terbukti, hingga kini sejumlah kasus pelanggaran HAM berat penyelesaiannya mandek di Kejaksaan Agung (Kejagung) di Jakarta. Diantaranya, kasus Abepura berdarah, 7 Desember 2000.
Hal ini dikemukakan koordinator BUK di Jayapura, Peneas Lokbere kepada wartawan di Kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Papua di Abepura, Rabu (7/12). Menurut Lokbere, menyikapi segudang kasus HAM yang sampai saat ini mentok, pihaknya menggelar beberapa kegiatan. Diantaranya, siaran pers, pembagian selebaran berisi pernyataan kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan kasus HAM di Papua serta pemutaran Film tentang kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di tanah ini.
Siaran pers yang digelar, lanjut dia, dilakukan untuk memperingati sebalas tahun kasus Abepura berdarah, 7 Desember 2000. Bagi dia, ivent 7 Desember 2011 kali ini merupakan moment penting untuk mengingatkan kembali negara soal sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan. Masyarakat umum juga diingatkan kembali bahwa ada segudang kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara namun tak mampu diselesaikan.
“Moment ini bagi kami penting untuk mengingatkan kembali semua pihak bahwa ada sejumlah pelanggaran dan kekerasan yang dilakukan oleh negara tapi belum diselesaikan. Peringatan ini merupakan bagian dari melawan lupa,” kata Lokbere. Selain itu, peringatan tersebut juga menjelang hari HAM sedunia yang jatuh pada Sabtu, 10 Desember 2011 pekan depan.
Matias Heluka, korban kasus Abepura berdarah, 7 Desember 2000 mengatakan kasus Abepura berdarah tahun 2000 perlu diangkat. Negara harus bertanggung jawab menuntaskan kasus tersebut. “Kasus ini perlu diselesaikan sampai tuntas. Jangan dibiarkan tenggelam,” ujar Matius.
Lanjut Heluka, hingga kini, para korban sudah memeperjuangkan penyelesaiannya. Tapi, sampai saat ini masih kandas di Kejaksaan Agung Jakarta. “Kami korban sudah berjuang dengan berbagai cara untuk selesaikan kasus ini. Tapi, sampai sekarang belum tuntas,” ungkapnya. Meski demikian, kata dia, korban akan terus berjuang mencari keadilan.
Matius Heluka menyatakan, dari kasus itu, 105 orang jadi korban. Seratus lima korban ini terus berjuang dari tahun ke tahun. Dalam perjuangannya, banyak diantaranya yang telah dipanggil pulang sang khalik lantaran sakit akibat penyiksaan yang dialami ketika itu. “Dari jumlah 105 orang ini, sampai sekarang tinggal 40 orang yang masih terus berjuang,” ujarnya.
Ditempat sama, Rega Kogoya, korban lainnya menandaskan, kala itu penyelesaian kasus itu para korban mengajukan kasasi atas kasus tersebut. Namun, sampai saat ini tak jawaban dari Kejaksaan Agung.
Melalui press Realess yang diterima tabloidjubi.com, BUK mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia segera membentuk tim independen untuk mencari pelaku dibalik semua kekerasan yang terjadi dibeberapa wilayah di Papua. Diantaranya, Timika, Degeuwo dan Puncak Jaya. Mendesak pemerintah untuk memenuhi hak-hak korban demi terciptanya rasa penghormatan, perlindungan harkat dan martabat manusia Papua. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didesak untuk segera menyelesaikan kasus Abepura berdarah, 7 Desember 2000 dan Wasior berdarah, 6 Juli 1999. (JUBI/Musa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar