Socratez Sofyan Yoman |
“Perlu adanya dialog dan reformasi politik berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan legal rakyat Papua, dan kami akan mengangkat kembali isu itu secara langsung dan mendorong pendekatan seperti itu.” (Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, di Honolulu, Hawaii, 10 November 2011)
*Oleh : Socratez Sofyan Yoman
Pada saat pertemuan kami dengan pihak Kedutaan Besar Pemerintah Amerika di Jakarta, 24 Januari 2012, kami menanyakan empat pokok masalah, yaitu: (1) tentang tuntutan rakyat Papua untuk Merdeka; (2) desakan dialog antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang dimediasi pihak ketiga; (3) kegagalan Otonomi Khusus di Papua; dan (4) Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).
*Oleh : Socratez Sofyan Yoman
Pada saat pertemuan kami dengan pihak Kedutaan Besar Pemerintah Amerika di Jakarta, 24 Januari 2012, kami menanyakan empat pokok masalah, yaitu: (1) tentang tuntutan rakyat Papua untuk Merdeka; (2) desakan dialog antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang dimediasi pihak ketiga; (3) kegagalan Otonomi Khusus di Papua; dan (4) Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).
Jawaban yang kami dengar adalah” Pemerintah Amerika
Serikat, mendukung penuh dialog terbuka antara rakyat Papua-Pemerintah Indonesia dan mendukung keutuhan wilayah Indonesia. Otonomi Khusus tidak berjalan seperti harapan rakyat Papua dan perlu dicari jalan keluar yang tepat untuk rakyat Papua. Tentang UP4B, Pemerintah Amerika belum mengetahui itu.”Pada Selasa, 31 Januari 2012, Washington, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Ibu Victoria Nuland, menyatakan: “ Kami meminta Pemerintah Indonesia untuk menjamin keamanan dan menjaga proses peradilan berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Tentunya kami juga ingin melihat perkembangan pesat di Provinsi Papua.” (sumber: MetroNews.com). Pemerintah Amerika Serikat menyatakan mendukung penuh dialog antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua dan Gereja-gereja di Tanah Papua menyatakan mendukung dialog antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia dengan melibatkan pihak ketiga yang netral. Pernyataan Gereja-gereja di Tanah Papua, saya sudah sampaikan dalam opini: “Papua Sejak Dulu Sudah Persoalan Internasional” (Bintang Papua, hal. 12 dan Pasific Post , hal. 11, Rabu, 28 Maret 2012). Para pembaca opini yang terhormat, saya dengan terus mengulang dengan mengutip pernyataan ini, karena ini posisi Gereja-gereja di Tanah Papua yang menyampaikan seruan moral dan suara kenabian untuk kepentingan dan keselamatan umat Tuhan.
Pada tanggal 3 Mei 2007, Gereja-gereja di Tanah Papua menyatakan bahwa Pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua menjadi masalah baru dan mengalami kegagalan. Maka, solusinya ialah “Dialog yang jujur dan damai seperti penyelesaian kasus Aceh. Dialog tersebut dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan yang diminta dan disetujui oleh Orang Asli Papua dan pemerintah Indonesia.” Pada tanggal 3-7 Desember 2007, seluruh Pimpinan Agama dan Gereja dalam Lokakarya Papua Tanah Damai mendesak agar pemerintah Indonesia “segera menyelesaikan perbedaan ideologi di Papua dengan sebuah dialog yang jujur dan terbuka antara pemerintah pusat dan Orang Asli Papua dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan disetujui oleh kedua belah pihak”.
Pada 22 Oktober 2008, Gereja-gereja di Tanah Papua menilai bahwa “Masalah pro dan kontra terhadap pelaksanaan PEPERA tidak akan bisa diselesaikan dengan cara pemblokiran jalan, penangkapan, penahanan, atau pemukulan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Menangkap, mengadili dan memenjarakan semua orang Papua pun tidak akan menyelesaikan persoalan PEPERA. Kami percaya bahwa kekerasan sebesar apapun tidak pernah akan menyelesaikan persoalan PEPERA ini. Oleh sebab itu, untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus-menerus, kami mengusulkan agar masalah PEPERA ini diselesaikan melalui suatu dialog damai.”
Pada tanggal, 14-17 Oktober 2008, Konferensi Gereja dan Masyarakat menyatakan, “Pemerintah Pusat segera membuka diri bagi suatu dialog antara pemerintah Indonesia dan Orang Asli Papua dalam kerangka evaluasi pelaksanaan UU No. 21 tahun 2001 tentang OTSUS dan Pelurusan Sejarah Papua. Menghentikan pernyataan-pernyataan stigmatisasi ’separatis, TPN, OPM, GPK, makar’ dan sejenisnya yang dialamatkan kepada Orang Asli Papua dan memulihkan hak dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan sehingga azas praduga tak bersalah harus sungguh-sungguh ditegakkan.”
Pada tanggal 18 Oktober 2009 dinyatakan, “Untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus-menerus, kami mengusulkan agar masalah PEPERA 1969 ini diselesaikan melalui suatu dialog damai. Kami mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk membahas masalah PEPERA ini melalui dialog yang difasilitasi oleh pihak ke tiga yang netral. Betapapun sensitifnya, persoalan Papua perlu diselesaikan melalui dialog damai antara pemerintah dan orang Papua. Kami yakin bahwa melalui dialog, solusi damai akan ditemukan.”
Pada 12 Agustus 2010, para pemimpin Gereja di Tanah Papua dalam pernyataan moral dan keprihatinan menyatakan, “Para pemimpin Gereja-gereja di Tanah Papua menyerukan untuk segera diadakan dialog nasional untuk menyelesaikan masalah-masalah di Tanah Papua secara adil, bermartabat, dan manusiawi yang dimediasi oleh pihak ketiga yang lebih netral.” Pada 10 Januari 2011, Komunike Bersama Para Pemimpin Gereja di Tanah Papua mendesak pemerintah RI untuk segera melakukan dialog dengan rakyat Papua guna menyelesaikan ketidakpastian hukum dan politik di Tanah Papua yang menjadi akar dari konflik yang berkepanjangan dan telah menyengsarakan umat Tuhan di tanah ini. Pada 26 Januari 2011, para pemimpin Gereja-gereja di Tanah Papua menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membuka diri untuk berdialog dengan rakyat asli Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral.
Berhubungan dengan kenyamanan dan keselamatan umat Tuhan, Uskup Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB, pernah mengungkapkan: “Saya sungguh paham akan norma-norma Gereja Katolik yang mengharuskan seorang pemimpin agama menjauhi politik praktis yang konkret, hal mana merupakan bidang spesifik dari kaum politisi. Akan tetapi, selaku seorang uskup, saya mempunyai kewajiban moral untuk menyuarakan suara dari kaum miskin dan kaum sederhana, apabila diintimidasi dan diteror, tidak berdaya membela diri mereka sendiri atau menjadikan maklum penderitaannya. Gereja selalu harus berpihak pada manusia, nilai-nilai kebebasan, demokrasi, keadilan sosial, martabat manusia. Itu universal.” (Siagian & Tukan, 1997:239,129). Uskup Belo pernah berkata: “…dalam realita kalau sudah menyangkut pribadi manusia, walaupun dengan alasan keamanan nasional, Gereja akan memihak pada person karena pribadi manusia harganya lebih tinggi daripada keamanan negara atau kepentingan nasional” (Sumber: Frans Sihol Siagian & Peter Tukan. Voice of the Voiceless (Suara Kaum tak Bersuara). Jakarta: Penerbit Obor, 1997, hal. 127).
Dalam buku yang berjudul Demi Keadilan dan Perdamaian, Uskup Belo juga pernah menyatakan: “Gereja merasa diri identik dengan rakyat, Gereja dalam menjalankan misinya tidak pernah serta tidak boleh bersikap acuh tak acuh atau asing terhadap perubahan-perubahan historis dari rakyat yang sama” (sumber: Tukan dan de Sousa: hal.105). Selanjutnya, Uskup Belo mengatakan: “Untuk apa kita harus merendahkan orang lain hanya karena kita tidak suka padanya? …saya hanya melakukan tugas saya sebagai pastor yang memperhatikan martabat teman manusia, yang bekerja menurut Injil untuk perdamaian, keadilan, dan kebenaran” (Siagian dan Tukan, hal. 191-192).
Sedangkan Uskup Dom Helmer Camara seorang Gembala umat di Brazil dalam bukunya Spiral Kekerasan dengan tepat mengatakan: “Gereja menjadi satu-satunya organisasi publik yang tidak dikendalikan lansung oleh kediktatoran. Harapan para tahanan politik didasarkan pada Gereja, satu-satunya institusi di Brazil yang tidak dikendalikan oleh negara militer.” (Dom Helder Camara. Spiral Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000,hal.16, 19).
Dalam konteks Papua, kehadiran gereja di Tanah Papua dalam misi Pekabaran Injil, sejak tanggal 5 Februari 1855, tidak terlepas dari tantangan demi tantangan, gelombang demi gelombang, badai demi badai, dan kemelut politik serta kompleksitas permasalahannya. Misalnya, sejarah diintegrasikannya (digabungkannya) Papua ke dalam Indonesia adalah suatu sejarah berdarah. Pelanggaran HAM yang diwarnai oleh pembunuhan kilat, penculikan, penghilangan, perkosaan, pembantaian, dan kecurigaan dengan stigma-stigma yang melecehkan martabat dan kehormatan umat Tuhan seperti separatis, pembuat makar, atau anggota OPM. Umat Tuhan (rakyat Papua) telah, sedang, dan terus mengalami suatu ketidakadilan sejarah, ketidakadilan hukum, dan karenanya merupakan ketidakadilan kemanusiaan. Secara hukum, diintegrasikannya Papua ke dalam Indonesia bermasalah. Oleh karena itu, Gereja harus memperbaiki kesalahan sejarah itu dengan terang Firman Tuhan, Injil Yesus Kristus sebagai kekuatan Allah karena Gereja adalah benteng terakhir untuk mempertahankan, melindungi, menggembalakan, menjaga integritas dan kehormatan manusia. Artinya pesan SALIB, yaitu: Injil Yesus Kristus harus hadir di tengah-tengah realitas hidup umat Tuhan. Injil tidak hanya berbicara di mimbar-mimbar Gereja. Injil harus menjadi jawaban atas persoalan umat.
Menghadapi kenyataan hidup umat Tuhan ini, Gereja di Tanah Papua Barat ini sebenarnya berada di posisi siapa? Membela siapa? Menjaga dan menggembalakan siapa? Apakah Gereja dalam posisinya menjaga dan bekerjasama dengan yang menindas atau berpihak yang tertindas? Gembala ada di posisi siapa? Apakah gembala ada pada orang punya uang? Apakah Gereja berpihak pada orang yang miskin, tertindas, dan teraniaya? Lebih parah lagi kalau Ketua-Ketua Sinode, pendeta-pendeta dan gembala-gembala menjadi moncong atau corongnya kaum penguasa dan penindas dengan selalu mengkampanyekan pemerintah adalah wakil Allah. Apakah Gereja-gereja di Tanah Papua harus membisu karena sudah dilumpuhkan dengan dikasih uang Otonomi Khusus yang telah dinyatakan GAGAL oleh Penduduk Asli Papua? Bagaimana para pemimpin Gereja menerima dana Otsus, padahal umat yang dilayaninya menyatakan Otsus telah gagal? Apakah umat yang menuntut Merdeka, dialog, Referendum ini adalah bukan Warga Gereja?
Para pemimpin Gereja di Tanah Papua, mari kita belajar dari teman kita, Uskup Belo sebagai seorang gembala, dengan tegas pernah menyatakan keyakinan imannya sebagai berikut: “Posisi Gereja Katolik di Timor Timur, pada pilihan apapun, adalah menerima situasi yang dipilih rakyat Timor Timur. Pada situasi ini, pilihan-pilihan yang dianjurkan oleh Gereja adalah pilihan untuk melakukan Referendum. Gereja memberikan anjuran terhadap pilihan ini karena percaya bahwa pilihan terhadap referendum adalah pilihan demokratis yang mampu mengakomodasikan seluruh aspirasi dan suara hati rakyat Timor Timur” (Sumber: Demi Keadilan dan Perdamaian, Peter Tukan-Domingos de Sousa, 1997:hal. 338). Belo melanjutkan, “Dasar fundamental adalah martabat manusia, martabat rakyat Timor-Timur. Kenapa saya selalu tidak suka siksaan, penangkapan, dan pembunuhan? Justru karena manusia Timor-Timur ini diciptakan Tuhan untuk hidup, jadi martabatnya itu yang harus dijunjung tinggi walaupun berbeda agama dan visi politik.” (Siagian & Tukan, 1997:163).
Uskup Mgr. Leo Laba Ladjar, Uskup Jayapura, pernah berujar: “Rakyat Papua sudah bertekad untuk berjuang tanpa kekerasan tetapi melalui perundingan dan diplomasi, dengan cara damai dan demokratis. Sikap yang amat simpatik itu harap tidak dijawab pemerintah dengan bedil, bom, dan penjara. Tanggapan untuk suatu dialog yang demokratis, adil, jujur, pasti, sekaligus juga meredam usaha-usaha para provokator yang tidak henti-hentinya memancing kekerasan entah dari pihak pemerintah/militer atau pihak-pihak rakyat Papua.” (Leo Laba Ladjar, “Kongres Papua: Memutuskan Apa?”, dalam Neles Tebay. Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua. Jayapura: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian, Keuskupan Jayapura, 2009, hal. 16).
Dalam menjalankan tugas advokasi persoalan hukum dan keadilan serta HAM di Papua dibutuhkan peran profetis agar Gereja tetap setia dan konsisten dalam memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan Hak Asasi Manusia, dalam rangka pembebasan dan perdamaian bagi umat Tuhan di seluruh Tanah Papua. Dekade Pembebasan, sebagai komitmen dan janji dimana seluruh tugas dan misi Gereja di bidang kesaksian menjadi kesaksian yang membebaskan; bidang pelayanan, menjadi pelayanan yang membebaskan; dan bidang koinonia atau persekutuan, menjadi koinonia yang membebaskan. Maka Gereja-gereja di Tanah Papua dengan konsisten mendukung penuh dialog damai antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Shalom. Tuhan memberkati kita.
*Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar