Dalam sebuah hadits Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengabarkan bahwa kelak di masa yang akan datang ummat Islam akan berada dalam keadaan yang sedemikian buruknya sehingga diumpamakan sebagai laksana makanan yang diperebutkan oleh sekumpulan pemangsanya. Lengkapnya hadits tersebut sebagai berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam “Hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya.” Maka seseorang bertanya: ”Apakah karena sedikitnya jumlah kita?” ”Bahkan kalian banyak, namun kalian seperti buih mengapung. Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian terhadap kalian. Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahan.” Seseorang bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah Al-Wahan itu?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Cinta dunia dan takut akan kematian.” (HR Abu Dawud 3745)
Ada beberapa pelajaran penting yang dapat kita tarik dari hadits ini:
Pertama, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memprediksi bahwa akan tiba suatu masa dimana orang-orang beriman akan menjadi kumpulan manusia yang menjadi rebutan ummat lainnya. Mereka akan mengalami keadaan yang sedemikian memprihatinkan sehingga diumpamakan seperti suatu porsi makanan yang diperbutkan oleh sekumpulan pemangsa. Artinya, pada masa itu kaum muslimin menjadi bulan-bulanan kaum lainnya. Hal ini terjadi karena mereka tidak memiliki kemuliaan sebagaimana di masa lalu. Mereka telah diliputi keinaan.
Kedua, pada masa itu muslimin tertipu dengan banyaknya jumlah mereka padahal tidak bermutu. Sahabat menyangka bahwa keadaan hina yang mereka alami disebabkan jumlah mereka yang sedikit, lalu Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyangkal dengan mengatakan bahwa jumlah muslimin pada waktu itu banyak, namun berkualitas rendah.
Hal ini juga dapat berarti bahwa pada masa itu ummat Islam sedemikian peduli dengan kuantitas namun lalai memperhatikan aspek kualitas. Yang penting punya banyak pendukung alias konstituen sambil kurang peduli apakah mereka berkualitas atau tidak. Sehingga kaum muslimin menggunakan tolok ukur mirip kaum kuffar dimana yang banyak pasti mengalahkan yang sedikit. Mereka menjadi gemar menggunakan prinsip the majority rules (mayoritas-lah yang berkuasa) yakni prinsip yang menjiwai falsafah demokrasi modern. Padahal Allah menegaskan di dalam Al-Qur’an bahwa pasukan berjumlah sedikit dapat mengalahkan pasukan musuh yang jumlahnya lebih besar dengan izin Allah.
كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS Al-Baqarah ayat 249)
Pada masa dimana muslimin terhina, maka kuantitas mereka yang besar tidak dapat menutupi kelemahan kualitas. Sedemikian rupa sehingga Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengumpamakan mereka seperti buih mengapung. Coba perhatikan tabiat buih di tepi pantai. Kita lihat bahwa buih merupakan sesuatu yang paling terlihat, paling indah dan berjumlah sangat banyak saat ombak sedang bergulung. Namun buih pulalah yang paling pertama menghilang saat angin berhembus lalu menghempaskannya ke udara.
Ketiga, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengisyaratkan bahwa jika ummat Islam dalam keadaan terhina, maka salah satu indikator utamanya ialah rasa gentar menghilang di dalam dada musuh menghadapi ummat Islam. Artinya, sesungguhnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam lebih menyukai ummat Islam senantiasa berwibawa sehingga disegani dan ditakuti musuh. Dewasa ini malah kita melihat bahwa para pemimpin berbagai negeri berpenduduk mayoritas muslim justru memiliki rasa segan dan rasa takut menghadapi para pemimpin kalangan kaum kuffar dunia barat. Alih-alih mengkritisi mereka, bersikap sama tinggi sama rendah saja sudah tidak sanggup. Sehingga yang kita lihat di panggung dunia para pemimpin negeri kaum muslimin menjadi –maaf- pelayan jika tidak bisa dikatakan anjing piaraan pemimpin kaum kuffar. Mereka menjulurkan lidah dengan setia mengikuti kemauan sang majikan kemanapun mereka pergi. Padahal Allah menggambarkan kaum muslimin sebagai manusia yang paling tinggi derajatnya di tengah manusia lainnya jika mereka sungguh-sungguh beriman kepada Allah.
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحَْنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran ayat 139)
Keempat, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam kemudian menjelaskan apa sesungguhnya yang melatarbelakangi ummat Islam di masa itu sehingga menjadi terhina dan kehilangan kemuliaannya.
وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ
Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahan.” (HR Abu Dawud 3745)
Jadi, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyebut penyakit ummat Islam tersebut dengan istilah ”Al-Wahan”. Suatu istilah baru yang menyebabkan para sahabatpun bertanya-tanya. Sehingga Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mendefinisikannya dengan uraian yang singkat namun sangat jelas.
فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
Seseorang bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah Al-Wahan itu?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Cinta dunia dan takut akan kematian.” (HR Abu Dawud 3745)
Penyakit Al-Wahan merupakan penyakit yang boleh dikatakan sangat dominan dewasa ini menjangkiti ummat manusia, termasuk ummat Islam. Karena kita sedang menjalani era paling kelam dalam sejarah Islam dimana kaum kuffar sedang mendapat giliran mengarahkan dan menguasai ummat manusia sedunia, maka konsep hidup kaum kuffar itulah yang mewarnai kehidupan manusia pada umumnya tanpa kecuali ummat Islam.
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS Ar-uum ayat 7)
Kaum kuffar tidak mengenal dan meyakini adanya kehidupan selain di dunia yang fana ini. Mereka sangat peduli dengan kemenangan, keberhasilan, kebahagiaan dan kekuasaan di dunia ini. Mereka menyangka bahwa dunia merupakan kehidupan yang final. Sehingga mereka mati-matian berjuang untuk meraih segala target keberhasilan duniawi sambil lalai alias tidak peduli dengan keberhasilan di akhirat. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya mereka tidak pernah meyakini adanya kehidupan akhirat.
Kelima, ummat Islam yang lemah dan kehilangan giliran memimpin ummat manusia, akhirnya menjadi lemah pula dalam hal keyakinan serta sikap hidup. Mereka mulai ketularan penyakit kaum kuffar, yakni mencintai dunia. Lalu mereka mulai melupakan bahwa kehidupan akhirat itulah sesungguhnya kehidupan yang sejati. Lupa bahwa di dunia yang ada hanyalah fatamorgana dan sementara. Baik itu dalam hal kebahagiaan maupun penderitaan. Semua hanyalah fatamorgana dan bersifat fana. Sedangkan di akhirat kelak, segenap kebahagiaan dan penderitaan bersifat sejati dan abadi. Dewasa ini, sudah mulai bermunculan saudara muslim kita yang akhirnya mengejar dunia sedemikian seriusnya, namun bermain-main dalam mengejar akhirat. Padahal Allah justru menggambarkan bahwa di dunia segala sesuatunya seharusnya tidak diambil terlalu serius, sedangkan untuk urusan akhiratlah semestinya seseorang berlaku tidak main-main.
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ
وَإِنَّ الدَّارَ الْآَخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui” (QS Al-Ankabut 64)
Sehingga mulailah sebagian muslimin menjadikan kaya-miskin sebagai tolok ukur kemuliaan. Mulailah mereka memiliki standar kebanggaan mirip orang kafir. Jika hidup tidak berpindah-pindah dari satu hotel mewah ke hotel mewah lainnya, perjalanan dari satu pesawat ke pesawat lainnya, kerja berpindah-pindah dari suatu jabatan kekuasaan formal ke jabatan lainnya, pergaulan berkenalan dari satu pejabat/selebritis ke pejabat/selebritis lainnya, maka orang tersebut belum masuk dalam lingkaran yang perlu diperhitungkan. Hanya mereka yang telah masuk dalam lingkaran pola kehidupan seperti itulah yang dinilai top dan sukses. Sehingga segala daya dan upaya dilakukan asalkan bisa secepatnya masuk ke dalam kelas masyarakat elite tersebut.
Keenam, karena kecintaan kepada dunia telah sedemikian dominan mirip kaum kuffar, maka biasanya secara otomatis hilangnya kerinduan bahkan kesiapan menghadapi alam berikutnya, yakni al-akhirah. Dan mengingat bahwa pintu memasuki akhirat ialah kematian di dunia, maka muslimin yang telah lemah mental itu kehilangan kesiapan serta keberanian menghadaoi al-maut alias kematian. Mereka menjadi takut menghadapi kematian. Padahal Nabi shollallahu ’alaih wa sallam justru menekankan kepada kita agar banyak-banyak mengingat kematian.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ
Bersabda Nabi shollallahu ’alaih wa sallam: “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan, yakni kematian.” (HR Tirmidzi 2229)
Orang yang banyak mengingat kematian mengindikasikan bahwa dirinya rindu berjumpa dengan Allah. Sebab kematian adalah saat dimana seseorang kembali ke Allah. Dan Allah akan suka berjumpa dengan orang yang memang suka berjumpa dengan Allah. Sebaliknya, Allah enggan berjumpa dengan seseorang yang memang asalnya juga tidak suka berjumpa dengan Allah.
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللَّهِ
أَحَبَّ اللَّهُ لِقَاءَهُ وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللَّهِ كَرِهَ اللَّهُ لِقَاءَهُ
Dari Nabi shollallahu ’alaih wa sallam beliau bersabda: “Barangsiapa suka berjumpa dengan Allah, maka Allah akan suka berjumpa dengannya. Dan barangsiapa yang benci perjumpaan dengan Allah, maka Allah akan benci pula berjumpa dengannya.” (HR Bukhary 6026)
Tetapi pada saat ummat Islam dalam kehinaan seperti dewasa ini malah kita jumpai semakin banyak orang, termasuk muslimin, yang melupakan kematian. Sedemikian rupa sehingga kita lihat sebagian mereka mengembangkan ambisi dan kecintaan kepada berbagai keberhasilan duniawi seolah semua itu dapat mereka nikmati selama-lamanya. Mereka mengejarnya sedemikian rupa sehingga menjadi sangat mirip dengan kaum kuffar yang memang tidak mengimani adanya kehidupan sesudah kematian. Mereka mengejarnya seperti kaum kafir sehingga kita menjadi malu sendiri melihat kelakuan mereka.
Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia puncak cita-cita kami dan batas akhir pengetauan kami. Ya Allah, jadikanlah akhirat pusat perhatian kami selalu dan mati di jalanMu ambisi utama kami.
Sumber :
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar