Aspek paling agung dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an dan bukti keimanan padanya yang paling tinggi adalah mengamalkannya. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
“Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepa-danya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebe-narnya, mereka itu beriman kepadanya.” (Al-Baqarah: 121)
Kedudukan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dan para sahabatnya adalah orang yang paling jelas persaksiannya dalam hal ini. Karena mereka benar-benar berpegang teguh dengan Al-Qur’an seakan-akan mereka adalah Al-Qur’an yang berjalan diatas bumi. Begitulah orang-orang yang melihat mensifati mereka.
Karena itulah akan kami ringkaskan pujian atas mereka sebagai contoh atas perkataan dan perbuatan mereka karena mereka yang paling dalam penghayatannya dalam mewujud-kan tujuan Al-Qur’an. Dalam Shahih Muslim dari ‘Aisyah Radhiallaahu anha bahwasanya ia ditanya tentang akhlak Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam maka ia menjawab: “Akhlaknya seperti Al-Qur’an.”
Dalam Al-Ausath, Ath-Thabrani dan Al-Mustadrak, Al-Hakim dengan sanad hasan dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhuma bahwasanya ia berkata: “Aku telah hidup dalam waktu yang singkat dari umurku di dunia ini. Sesungguhnya salah seorang diantara kita diberikan iman sebelum Al-Qur’an di saat surat-surat Al-Qur’an masih turun berkesinambungan kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Maka kami belajar tentang halal dan haramnya dan apa-apa yang seyogyanya kami perhatikan sebagaimana kalian mengajarkan Al-Qur’an. Kemudian aku melihat kaum yang diberi Al-Qur’an sebelum (diberi) iman maka ia mem-baca dari Al-Fatihah hingga hatam namun ia tidak tahu apa yang diperintah dan yang dilarang serta hal-hal yang seyogyanya diperhatikannya bagai menabur kurma buruk.”
Al-A’masy meriwayatkan dari Abi Wail dari Ibnu Mas’ud Shalallaahu alaihi wasalam berkata: “Dahulu seorang di antara kami jika belajar 10 ayat tidak pindah hingga mengamalkannya, kami belajar dan mengamalkan Al-Qur’an secara bersamaan.”
Al-Hasan Ibnu Ali Radhiallaahu anhu berkata: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian melihat Al-Qur’an merupakan surat-surat dari Tuhan mereka, maka mereka merenungkannya di malam hari dan melakukan inspeksi (tinjauan) di siang hari.”
Dan masih banyak kejadian-kejadian mengenai perilaku para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim dalam pemuliaan Al-Qur’an dan kesiapan terhadapnya memberikan inspirasi dan kesigapan mereka kepada kita untuk beramal dan melaksa-nakan pemuliaan Al-Qur’an. Untuk mempertegas bukti kon-disi sifat mereka.di atas, akan kami lengkapi uraian sebagai berikut:
Dalam Shahih Mulim dari Abi Hurairah Radhiallaahu anhu berkata: “Ketika turun ayat ini kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan-nya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendakiNya dan menyiksa siapa yang dikehendakiNya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 284)
Para sahabat merasa berat akan hal itu. Maka mereka mendatangi Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam kemudian diam di atas unta seraya berkata: “Wahai Rasulullah , kami dibebani amanat-amanat yang kami sanggup mengembannya seperti shalat, puasa, jihad, dan shadaqah, dan telah turun ayat ini kepadamu yang kami tidak sanggup mengembannya.” Maka Rasulullah bersabda:
(( أُتُرِيْدُوْنَ أَنْ تُقُوْلُوْا قَالَ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ مِنْ قَبْلِكُمْ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا؟ بَلْ قُوْلُوْا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ ))
“Apakah kalian ingin mengatakan sebagaimana perkataan kaum Ahli Kitab sebelum kalian: ‘Kami mendengar dan kami mengingkari?’ Katakanlah: ‘Kami mendengar dan kami taat’. Maha Suci Engkau, wahai Tuhanku dan kepadaMu-lah kami kembali.”
Kemudian mereka berkata: “Kami mendengar dan kami taat, Maha Suci Engkau, wahai Tuhan kami, kepadaMu-lah kami kembali!” Setelah mengucapkan hal itu, lisan mereka terasa berat. Kemudian Allah menurunkan ayat dalam peristiwa ini:
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malai-kat-malaikatNya, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. (Mereka mengatakan): ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya’, dan mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan kami ta’at’. (Mereka berdo’a): ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’.” (Al-Baqarah: 285)
Ketika mereka melakukan apa yang diperintah Rasul, maka Allah menghapus –hukum– ayat itu dengan menurunkan ayat:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai de-ngan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Eng-kau bebankan kepada kami beban yang berat sebagai-mana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebe-lum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir’.” (Al-Baqarah: 286)
Kisah ini memperkuat kenyataan sebelumnya. Ketika para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim kokoh keimanan dalam hati dengan mengamalkan setiap ayat Al-Qur’an yang me-ngandung hukum, mereka merasa berat melaksanakan satu ayat ini, karena harus mempertanggung-jawabkan hal-hal yang mereka sembunyikan dalam hati mereka. Karena Allah Maha Mengetahui apa yang dibisikkan dalam hati hamba-hambaNya. Karena hal itulah mereka mendatangi Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dengan ketakutan, sebagaimana difahami dari ceritanya. Maka terasa berat yang demikian itu pada para sahabat Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, dan kata-kata: “Kemudian mereka duduk bertekuk lutut.”
Dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Anas Radhiallaahu anhu berkata: Abu Thalhah merupakan orang Anshar yang paling banyak hartanya –berupa pohon-pohon kurma– di Madinah. Harta yang paling ia sukai adalah Bairuha’ yang berada di depan masjid, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . memasukinya dan meminum airnya yang baik. Ketika turun ayat:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian har-ta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali Imran: 92)
Abu Thalhah berdiri di hadapan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam seraya berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah Shalallaahu alaihi wasalam berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali Imran: 92)
“Sungguh harta yang paling aku sukai adalah Bairuha’, aku shadaqahkan untuk Allah, aku mengharap kebaikan dan simpanan (pahalanya) di sisi Allah, pergunakanlah wahai Rasul sebagaimana Allah menentukan pada anda.”
Anas berkata: “Kemudian Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: ‘Engkau telah mendengar apa yang aku katakan dan aku berpendapat sebaiknya engkau menjadikannya untuk kerabat terdekatmu’.”
Abu Thalhah berkata: “Akan aku lakukan wahai Rasulullah.” Kemudian Abu Thalhah membagi untuk kerabatnya dan anak-anak pamannya.
Imam Al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhuma bahwasanya Umar memperoleh tanah dalam perang Khaibar, maka Umar mendatangi Nabi Shalallaahu alaihi wasalam seraya berkata: “Aku memperoleh tanah dan tidak memperoleh harta yang lebih berharga dari itu, bagaimana perintah anda dalam hal ini?” Rasul menjawab: “Jika engkau mau, engkau pegang pokoknya dan sedekahkan hasilnya.”
Ibnu Hajar Rahimahullaah berkata: “Dalam hadits ini tampak keutamaan yang jelas pada diri Umar dalam mengaplikasikan firman Allah:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali Imran: 92).
Al-Bazzar meriwayatkan dengan sanadnya dari Hamzah Ibnu Abdullah berkata: “Abdullah berkata ayat ini (Ali Imran: 92) datang padaku, dia mengingatkanku terhadap karunia Allah, aku tidak mendapati sesuatu yang lebih aku cintai dari budak perempuanku Rumayyah. Aku berkata: “Ia kumerdekakan untuk mengharap wajah Allah, kalau sekiranya aku ambil kembali hal yang telah kujadikan karena Allah tentu akan aku nikahi dia.”
Dalam Shahih Al-Bukhari dari Ibnu Abi Mulkah berkata: “Dua orang yang mulia yaitu Abu Bakar dan Umar Radhiallaahu anhu hampir saja celaka karena keduanya mengangkat suara di atas suara Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ketika datang kafilah Bani Tamim, Abu Bakar menunjuk kepada Al-Aqra’ Ibnu Haabis –saudaraku dari Bani Mujasyi’ dan Umar menunjuk laki-laki lainnya, Nafi’ berkata saya tidak ingat namanya– maka Abu Bakar berkata kepada Umar: ‘Engkau tidak menginginkan melainkan pertentangan denganku!’ Umar menjawab: ‘Aku tidak ingin menentangmu!’ Keduanya berkata-kata dengan mengangkat suaranya masing-masing. Kemudian Allah menurunkan ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu me-ninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagai-mana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap seba-hagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2)
Berkata Ibnu Az-Zubair Radhiallaahu anhu: “Umar tidak ingin lagi mengeraskan suara pada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam setelah turunnya ayat ini, sampai beliau meminta penjelasannya.” Ibnu Az-Zubair tidak menyebutkan ini dari bapaknya.
Ibnu Hajar Rahimahullaah berkata: “Ibnu Mundzir mengeluarkan dari jalan Muhammad Ibnu Amr Ibnu Al-Alqamah bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiallaahu anhu berkata seperti itu kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan hadits ini mursal. Al-Hakim mengeluarkannya secara bersambung dari hadits Abu Hurairah yang semisalnya. Ibnu Marduwaih mengeluarkan dari jalan Ibnu Syihab dan Abu Bakar berkata: ketika turun ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2)
Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah aku tidak akan berbicara denganmu melainkan sebagaimana seseorang berbisik pada saudaranya.”
Dalam Shahih Al-Bukhari dari Anas bin Malik Radhiallaahu anhu bahwa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam mencari Tsabit Ibnu Qais, maka seseorang berkata: “Wahai Rasulullah aku mengetahuinya.” Orang itu datang dan mendapati Tsabit Ibnu Qais duduk di rumahnya dengan membalikkan kepalanya. Laki-laki itu bertanya: “Ada apa denganmu?” Qais menjawab: “(Keadaanku) buruk!” Dia pernah mengangkat suaranya diatas suara Nabi Shalallaahu alaihi wasalam , maka dia mengira amalnya terhapus dan tergolong penghuni neraka.
Kemudian laki-laki itu kembali pada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam mengabarkan bahwa Qais berkata begini… dan begini… maka laki-laki itu diperintahkan kembali oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dengan membawa berita gembira agar mengatakan: “Sesungguhnya engkau bukan termasuk ahli Neraka tetapi ahli Surga.”
Dalam Shahih Al-Bukhari dari Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu berkata: “Uyainah Ibnu Husni Ibnu Hudzaifah datang kepada kami, maka ia menginap di rumah keponakannya Al-Harru Ibnu Qais, sedang ia termasuk orang-orang yang dekat dengan Umar. Ia seorang pembaca Al-Qur’an, duduk di majlis Umar Radhiallaahu anhu dalam musyawarah di antara kalangan orang tua dan kalangan muda. Uyainah berkata kepada keponakannya: ‘Wahai putra saudaraku engkau memiliki kedudukan di sisi Umar mintakan izin padanya agar aku bisa bertemu dengannya’.
Kemudian ia pun memintakan izin kepada Umar untuk pamannya lalu Umar pun memberi zin. Ketika Uyainah menghadap ia berkata: ‘Wahai Ibnul Khatthab demi Allah engkau tidak menunjukkan kepada kami kemurahan hati dan tidak memerintah dengan adil.’ Maka Umar marah hingga bermaksud menghukumnya, seketika Al-Harru berkata: “Wahai Amirul Mukminin, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya:
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raf: 199)
Sesungguhnya orang ini tergolong orang bodoh, demi Allah, Umar tidak mengabaikan ayat ini ketika dibacakan padanya dan dia selalu berpijak pada kitab Allah.”
Itulah bukti, kalimatnya: “Demi Allah, ia tidak mengabaikan ayat Al-Qur’an ketika dibacakan padanya dan ia selalu berpijak pada kitab Allah.” Kejadian ini berbeda dengan kejadian-kejadian sebelumnya karena di dalamnya terdapat hal yang lebih berat berupa pengekangan nafsu ketika sedang marah walau dalam keadaan benar. Itulah bukti sifat hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang yaitu orang-orang yang disebutkan sifat-sifatnya dalam firmanNya:
“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah mengha-dapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.” (Al-Furqan: 73)
Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud Radhiallaahu anhu berkata: “Ketika turun ayat:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82)
Hal itu memberatkan kaum muslimin, mereka berkata: “Siapa di antara kita yang tidak menganiaya dirinya sendiri!” Maka Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: “Bukan itu maksudnya melainkan syirik. Bukankah kalian mendegar perkataan Luqman kepada anaknya:
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman: 13).
Dalam Musnad Imam Ahmad dan Al-Mustadrak dari Abi Bakar Ibnu Abi Zubair berkata: “Aku diberi kabar bahwa Abu Bakar berkata: ‘Ya Rasulullah, bagaimana perbaikan setelah ayat ini:
“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan keja-hatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (An-Nisa’: 123)
Setiap kejelekan yang kami perbuat akan dibalas?”
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam menjawab: “Allah mengampunimu wahai Abu Bakar, bukankah engkau sakit, bukankah engkau tertimpa musibah, bukankah engkau sedih, bukankah engkau… .” Abu bakar menjawab: “Benar.” Rasul bersabda: “Itulah di antara yang membalas.”
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Anas Radhiallaahu anhu bahwa dia berkata: “Abu Bakar pernah makan bersama Nabi Shalallaahu alaihi wasalam kemudian turun ayat:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula.” (Al-Zalzalah: 7-8)
Kemudian Abu Bakar mengangkat tangannya seraya berkata: “Bagaimana aku akan dibalas karena kejelekan sebesar biji atom?” Rasul menjawab:
Kemudian mereka berkata: “Kami mendengar dan kami taat, Maha Suci Engkau, wahai Tuhan kami, kepadaMu-lah kami kembali!” Setelah mengucapkan hal itu, lisan mereka terasa berat. Kemudian Allah menurunkan ayat dalam peristiwa ini:
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malai-kat-malaikatNya, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. (Mereka mengatakan): ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya’, dan mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan kami ta’at’. (Mereka berdo’a): ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’.” (Al-Baqarah: 285)
Ketika mereka melakukan apa yang diperintah Rasul, maka Allah menghapus –hukum– ayat itu dengan menurunkan ayat:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai de-ngan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Eng-kau bebankan kepada kami beban yang berat sebagai-mana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebe-lum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir’.” (Al-Baqarah: 286)
Kisah ini memperkuat kenyataan sebelumnya. Ketika para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim kokoh keimanan dalam hati dengan mengamalkan setiap ayat Al-Qur’an yang me-ngandung hukum, mereka merasa berat melaksanakan satu ayat ini, karena harus mempertanggung-jawabkan hal-hal yang mereka sembunyikan dalam hati mereka. Karena Allah Maha Mengetahui apa yang dibisikkan dalam hati hamba-hambaNya. Karena hal itulah mereka mendatangi Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dengan ketakutan, sebagaimana difahami dari ceritanya. Maka terasa berat yang demikian itu pada para sahabat Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, dan kata-kata: “Kemudian mereka duduk bertekuk lutut.”
Dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Anas Radhiallaahu anhu berkata: Abu Thalhah merupakan orang Anshar yang paling banyak hartanya –berupa pohon-pohon kurma– di Madinah. Harta yang paling ia sukai adalah Bairuha’ yang berada di depan masjid, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . memasukinya dan meminum airnya yang baik. Ketika turun ayat:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian har-ta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali Imran: 92)
Abu Thalhah berdiri di hadapan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam seraya berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah Shalallaahu alaihi wasalam berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali Imran: 92)
“Sungguh harta yang paling aku sukai adalah Bairuha’, aku shadaqahkan untuk Allah, aku mengharap kebaikan dan simpanan (pahalanya) di sisi Allah, pergunakanlah wahai Rasul sebagaimana Allah menentukan pada anda.”
Anas berkata: “Kemudian Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: ‘Engkau telah mendengar apa yang aku katakan dan aku berpendapat sebaiknya engkau menjadikannya untuk kerabat terdekatmu’.”
Abu Thalhah berkata: “Akan aku lakukan wahai Rasulullah.” Kemudian Abu Thalhah membagi untuk kerabatnya dan anak-anak pamannya.
Imam Al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhuma bahwasanya Umar memperoleh tanah dalam perang Khaibar, maka Umar mendatangi Nabi Shalallaahu alaihi wasalam seraya berkata: “Aku memperoleh tanah dan tidak memperoleh harta yang lebih berharga dari itu, bagaimana perintah anda dalam hal ini?” Rasul menjawab: “Jika engkau mau, engkau pegang pokoknya dan sedekahkan hasilnya.”
Ibnu Hajar Rahimahullaah berkata: “Dalam hadits ini tampak keutamaan yang jelas pada diri Umar dalam mengaplikasikan firman Allah:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali Imran: 92).
Al-Bazzar meriwayatkan dengan sanadnya dari Hamzah Ibnu Abdullah berkata: “Abdullah berkata ayat ini (Ali Imran: 92) datang padaku, dia mengingatkanku terhadap karunia Allah, aku tidak mendapati sesuatu yang lebih aku cintai dari budak perempuanku Rumayyah. Aku berkata: “Ia kumerdekakan untuk mengharap wajah Allah, kalau sekiranya aku ambil kembali hal yang telah kujadikan karena Allah tentu akan aku nikahi dia.”
Dalam Shahih Al-Bukhari dari Ibnu Abi Mulkah berkata: “Dua orang yang mulia yaitu Abu Bakar dan Umar Radhiallaahu anhu hampir saja celaka karena keduanya mengangkat suara di atas suara Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ketika datang kafilah Bani Tamim, Abu Bakar menunjuk kepada Al-Aqra’ Ibnu Haabis –saudaraku dari Bani Mujasyi’ dan Umar menunjuk laki-laki lainnya, Nafi’ berkata saya tidak ingat namanya– maka Abu Bakar berkata kepada Umar: ‘Engkau tidak menginginkan melainkan pertentangan denganku!’ Umar menjawab: ‘Aku tidak ingin menentangmu!’ Keduanya berkata-kata dengan mengangkat suaranya masing-masing. Kemudian Allah menurunkan ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu me-ninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagai-mana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap seba-hagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2)
Berkata Ibnu Az-Zubair Radhiallaahu anhu: “Umar tidak ingin lagi mengeraskan suara pada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam setelah turunnya ayat ini, sampai beliau meminta penjelasannya.” Ibnu Az-Zubair tidak menyebutkan ini dari bapaknya.
Ibnu Hajar Rahimahullaah berkata: “Ibnu Mundzir mengeluarkan dari jalan Muhammad Ibnu Amr Ibnu Al-Alqamah bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiallaahu anhu berkata seperti itu kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan hadits ini mursal. Al-Hakim mengeluarkannya secara bersambung dari hadits Abu Hurairah yang semisalnya. Ibnu Marduwaih mengeluarkan dari jalan Ibnu Syihab dan Abu Bakar berkata: ketika turun ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2)
Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah aku tidak akan berbicara denganmu melainkan sebagaimana seseorang berbisik pada saudaranya.”
Dalam Shahih Al-Bukhari dari Anas bin Malik Radhiallaahu anhu bahwa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam mencari Tsabit Ibnu Qais, maka seseorang berkata: “Wahai Rasulullah aku mengetahuinya.” Orang itu datang dan mendapati Tsabit Ibnu Qais duduk di rumahnya dengan membalikkan kepalanya. Laki-laki itu bertanya: “Ada apa denganmu?” Qais menjawab: “(Keadaanku) buruk!” Dia pernah mengangkat suaranya diatas suara Nabi Shalallaahu alaihi wasalam , maka dia mengira amalnya terhapus dan tergolong penghuni neraka.
Kemudian laki-laki itu kembali pada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam mengabarkan bahwa Qais berkata begini… dan begini… maka laki-laki itu diperintahkan kembali oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dengan membawa berita gembira agar mengatakan: “Sesungguhnya engkau bukan termasuk ahli Neraka tetapi ahli Surga.”
Dalam Shahih Al-Bukhari dari Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu berkata: “Uyainah Ibnu Husni Ibnu Hudzaifah datang kepada kami, maka ia menginap di rumah keponakannya Al-Harru Ibnu Qais, sedang ia termasuk orang-orang yang dekat dengan Umar. Ia seorang pembaca Al-Qur’an, duduk di majlis Umar Radhiallaahu anhu dalam musyawarah di antara kalangan orang tua dan kalangan muda. Uyainah berkata kepada keponakannya: ‘Wahai putra saudaraku engkau memiliki kedudukan di sisi Umar mintakan izin padanya agar aku bisa bertemu dengannya’.
Kemudian ia pun memintakan izin kepada Umar untuk pamannya lalu Umar pun memberi zin. Ketika Uyainah menghadap ia berkata: ‘Wahai Ibnul Khatthab demi Allah engkau tidak menunjukkan kepada kami kemurahan hati dan tidak memerintah dengan adil.’ Maka Umar marah hingga bermaksud menghukumnya, seketika Al-Harru berkata: “Wahai Amirul Mukminin, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya:
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raf: 199)
Sesungguhnya orang ini tergolong orang bodoh, demi Allah, Umar tidak mengabaikan ayat ini ketika dibacakan padanya dan dia selalu berpijak pada kitab Allah.”
Itulah bukti, kalimatnya: “Demi Allah, ia tidak mengabaikan ayat Al-Qur’an ketika dibacakan padanya dan ia selalu berpijak pada kitab Allah.” Kejadian ini berbeda dengan kejadian-kejadian sebelumnya karena di dalamnya terdapat hal yang lebih berat berupa pengekangan nafsu ketika sedang marah walau dalam keadaan benar. Itulah bukti sifat hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang yaitu orang-orang yang disebutkan sifat-sifatnya dalam firmanNya:
“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah mengha-dapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.” (Al-Furqan: 73)
Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud Radhiallaahu anhu berkata: “Ketika turun ayat:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82)
Hal itu memberatkan kaum muslimin, mereka berkata: “Siapa di antara kita yang tidak menganiaya dirinya sendiri!” Maka Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: “Bukan itu maksudnya melainkan syirik. Bukankah kalian mendegar perkataan Luqman kepada anaknya:
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman: 13).
Dalam Musnad Imam Ahmad dan Al-Mustadrak dari Abi Bakar Ibnu Abi Zubair berkata: “Aku diberi kabar bahwa Abu Bakar berkata: ‘Ya Rasulullah, bagaimana perbaikan setelah ayat ini:
“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan keja-hatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (An-Nisa’: 123)
Setiap kejelekan yang kami perbuat akan dibalas?”
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam menjawab: “Allah mengampunimu wahai Abu Bakar, bukankah engkau sakit, bukankah engkau tertimpa musibah, bukankah engkau sedih, bukankah engkau… .” Abu bakar menjawab: “Benar.” Rasul bersabda: “Itulah di antara yang membalas.”
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Anas Radhiallaahu anhu bahwa dia berkata: “Abu Bakar pernah makan bersama Nabi Shalallaahu alaihi wasalam kemudian turun ayat:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula.” (Al-Zalzalah: 7-8)
Kemudian Abu Bakar mengangkat tangannya seraya berkata: “Bagaimana aku akan dibalas karena kejelekan sebesar biji atom?” Rasul menjawab:
(( يَا أَبَا بَكْرٍ مَا رَأَيْتَ فِي الدُّنْيَا مِمَّا تَكْرَهُ فَبِمَثَاقِيْلِ ذُرِّ الشَّرِّ وَيُدْخَرُ لَكَ مَثَاقِيْلُ ذُرِّ الْخَيْرِ حَتَّى تَوَفَّاهٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ))
“Wahai Abu Bakar apa yang engkau lihat di dunia ini dari kejelekan yang tidak engkau sukai walau sebesar biji atom akan berubah menjadi simpanan kebaikanmu beberapa biji atom hingga engkau meninggal dunia dan dibangkitkan pada hari Kiamat.”
Dalam Musnad Imam Ahmad dari Sa’sa’ah paman Farazdak bahwasanya ia mendatangi Nabi Shalallaahu alaihi wasalam seraya membaca ayat:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzar-rah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula.” (Al-Zalzalah: 7-8)
“Cukup! Aku tidak ingin mendengar selainnya.”
Semoga dari contoh-contoh yang lalu kiranya memberikan gambaran yang sebenar-benarnya peringatan tentang pemuliaan pada Kitab Allah Subhannahu wa Ta'ala yaitu Al-Qur’an. Tetapi barangkali ada pertanyaan dari kaum muslimah shalihah: “Bukankah para sahabat dari kaum wanita memiiki keistimewaan ketika berinteraksi dengan Al-Qur’an?” Saya katakan: “Sesungguhnya para sahabat dari kaum pria dan wanita ridhwanullahi ‘alaihim memiliki keistimewaan dalam ber-interaksi dengan Al-Qur’an secara keilmuan, perbuatan yang jelas dan nyata. Tidak butuh kepada keterangan dan penje-lasan karena sejarah Nabi sepenuhnya menceritakan demikian.
Dari contoh-contoh lalu yang kami sebutkan tentang sahabat bukan untuk menetapkan hakikat ini, sekali-kali tidak, ini hanya penjelasan makna an-nashihah sebagaimana pemahaman para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim. Kemudian untuk memotivasi diri dalam mewujudkannya, karena hal ini dalam masyarakat kita sekarang menjadi predikat kelompok terasing dalam beragama.
Dalam serba keterbatasan dalam bab ini tidak mengapa kita sebutkan juga beberapa contoh kondisi para sahabat wanita, mereka menempati kedudukan yang tidak remeh. Sebagai contoh di sini ummul mukminin Aisyah Radhiallaahu anha membaca surat Az-Zalzalah sebagaimana telah diuraikan keadaan para sahabat bersama beliau dalam mengamalkannya.
Diceritakan dalam Al-Muwatha’ Imam Malik Rahimahullaah: “Ada seorang miskin minta makan kepada Aisyah Radhiallaahu anha , di tangan beliau ada buah anggur, beliau menyuruh seseorang memberikan kepadanya sebuah anggur, ia heran. Kemudian Aisyah Radhiallaahu anha berkata: ‘Engkau heran? Berapa biji atom yang kau lihat dalam sebutir buah ini?”
Ummul Mukminin dalam hal ini bersedekah dengan sebiji anggur bukan karena kikir, Allah menyucikan beliau dari hal itu. Beliau adalah seorang yang pemurah sebagai-mana ayah beliau. Diriwayatkan oleh Hisyam Ibnu Urwah dari ayahnya Urwah Ibnu Zubair anak saudara perempuannya bahwa Muawiyah memberikan kepada beliau 100 dinar kemudian ia berkata: “Demi Allah sebelum matahari tenggelam pada hari itu beliau telah membagi-bagikannya. Hingga budak wanita itu berkata: ‘Seandainya anda membeli daging untuk kami, dari sedirham uang itu?’ Beliau menjawab: ‘Mengapa engkau tidak mengingatkan aku?’.”
Beliau bersedekah dengan sebiji anggur untuk mengamalkan ayat itu sebagai contoh bagi yang lain, agar tidak meremehkan kebaikan walau sedikit, karena memperhatikan hal-hal terkecil dalam kebaikan merupakan bukti dari sikap hati-hati dalam perkara jelek yang sangat kecil pula. Apakah kaum muslimat mengetahui dan mengamalkan ayat ini sebagaimana bunda mereka Aisyah Radhiallaahu anha, adakah mereka menjauhi apa-apa yang sangat kecil (sebesar atom) dalam padangan mereka padahal boleh jadi hal itu sebesar gunung di mata shahabiyat.
Jangan dulu berkata: “Itukan ummul mukminin?” Dimana tingkatan kita dibandingkan beliau? Demikian itu adalah komitmen para shahabiyat radhiyallahu ‘anhunna, mereka semua disaksikan oleh beliau Radhiallaahu anha.
Dalam Shahih Al-Bukhari dari Aisyah Radhiallaahu anha berkata: “Allah merahmati para wanita Muhajiraat yang pertama ketika turun ayat:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempu-nyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu seka-lian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung’.” (An-Nur: 31)
(Langsung) mereka merobek kain korden dan menjadi-kannya sebagai jilbab dan menutup hingga dada mereka.”
Hal yang sama juga dilakukan kaum wanita Anshar. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Aisyah Radhiallaahu anha bahwa beliau berkata: “Demi Allah aku tidak melihat kaum yang lebih utama daripada wanita Anshar terhadap pembenaran kitab Allah (Al-Qur’an) dan keimanan terhadap yang diturunkan. Sungguh disaat turun surat An-Nuur ayat 31, para suami segera pulang dan membacakan ayat yang baru diturunkan Allah kepada isteri, anak dan saudari serta sanak famili mereka maka tidak ada di antara kaum wanita melainkan mengumpulkan kain dan memakainya sebagai pembuktian keimanan mereka terhadap apa yang diturunkan Allah dalam kitabNya. Mereka berada di belakang Rasululah Shalallaahu alaihi wasalam di saat Subuh dalam keadaan berjilbab seakan-akan di atas kepala mereka ada burung-burung gagak.”
Dalam Musnad Imam Ahmad dari Sa’sa’ah paman Farazdak bahwasanya ia mendatangi Nabi Shalallaahu alaihi wasalam seraya membaca ayat:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzar-rah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula.” (Al-Zalzalah: 7-8)
“Cukup! Aku tidak ingin mendengar selainnya.”
Semoga dari contoh-contoh yang lalu kiranya memberikan gambaran yang sebenar-benarnya peringatan tentang pemuliaan pada Kitab Allah Subhannahu wa Ta'ala yaitu Al-Qur’an. Tetapi barangkali ada pertanyaan dari kaum muslimah shalihah: “Bukankah para sahabat dari kaum wanita memiiki keistimewaan ketika berinteraksi dengan Al-Qur’an?” Saya katakan: “Sesungguhnya para sahabat dari kaum pria dan wanita ridhwanullahi ‘alaihim memiliki keistimewaan dalam ber-interaksi dengan Al-Qur’an secara keilmuan, perbuatan yang jelas dan nyata. Tidak butuh kepada keterangan dan penje-lasan karena sejarah Nabi sepenuhnya menceritakan demikian.
Dari contoh-contoh lalu yang kami sebutkan tentang sahabat bukan untuk menetapkan hakikat ini, sekali-kali tidak, ini hanya penjelasan makna an-nashihah sebagaimana pemahaman para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim. Kemudian untuk memotivasi diri dalam mewujudkannya, karena hal ini dalam masyarakat kita sekarang menjadi predikat kelompok terasing dalam beragama.
Dalam serba keterbatasan dalam bab ini tidak mengapa kita sebutkan juga beberapa contoh kondisi para sahabat wanita, mereka menempati kedudukan yang tidak remeh. Sebagai contoh di sini ummul mukminin Aisyah Radhiallaahu anha membaca surat Az-Zalzalah sebagaimana telah diuraikan keadaan para sahabat bersama beliau dalam mengamalkannya.
Diceritakan dalam Al-Muwatha’ Imam Malik Rahimahullaah: “Ada seorang miskin minta makan kepada Aisyah Radhiallaahu anha , di tangan beliau ada buah anggur, beliau menyuruh seseorang memberikan kepadanya sebuah anggur, ia heran. Kemudian Aisyah Radhiallaahu anha berkata: ‘Engkau heran? Berapa biji atom yang kau lihat dalam sebutir buah ini?”
Ummul Mukminin dalam hal ini bersedekah dengan sebiji anggur bukan karena kikir, Allah menyucikan beliau dari hal itu. Beliau adalah seorang yang pemurah sebagai-mana ayah beliau. Diriwayatkan oleh Hisyam Ibnu Urwah dari ayahnya Urwah Ibnu Zubair anak saudara perempuannya bahwa Muawiyah memberikan kepada beliau 100 dinar kemudian ia berkata: “Demi Allah sebelum matahari tenggelam pada hari itu beliau telah membagi-bagikannya. Hingga budak wanita itu berkata: ‘Seandainya anda membeli daging untuk kami, dari sedirham uang itu?’ Beliau menjawab: ‘Mengapa engkau tidak mengingatkan aku?’.”
Beliau bersedekah dengan sebiji anggur untuk mengamalkan ayat itu sebagai contoh bagi yang lain, agar tidak meremehkan kebaikan walau sedikit, karena memperhatikan hal-hal terkecil dalam kebaikan merupakan bukti dari sikap hati-hati dalam perkara jelek yang sangat kecil pula. Apakah kaum muslimat mengetahui dan mengamalkan ayat ini sebagaimana bunda mereka Aisyah Radhiallaahu anha, adakah mereka menjauhi apa-apa yang sangat kecil (sebesar atom) dalam padangan mereka padahal boleh jadi hal itu sebesar gunung di mata shahabiyat.
Jangan dulu berkata: “Itukan ummul mukminin?” Dimana tingkatan kita dibandingkan beliau? Demikian itu adalah komitmen para shahabiyat radhiyallahu ‘anhunna, mereka semua disaksikan oleh beliau Radhiallaahu anha.
Dalam Shahih Al-Bukhari dari Aisyah Radhiallaahu anha berkata: “Allah merahmati para wanita Muhajiraat yang pertama ketika turun ayat:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempu-nyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu seka-lian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung’.” (An-Nur: 31)
(Langsung) mereka merobek kain korden dan menjadi-kannya sebagai jilbab dan menutup hingga dada mereka.”
Hal yang sama juga dilakukan kaum wanita Anshar. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Aisyah Radhiallaahu anha bahwa beliau berkata: “Demi Allah aku tidak melihat kaum yang lebih utama daripada wanita Anshar terhadap pembenaran kitab Allah (Al-Qur’an) dan keimanan terhadap yang diturunkan. Sungguh disaat turun surat An-Nuur ayat 31, para suami segera pulang dan membacakan ayat yang baru diturunkan Allah kepada isteri, anak dan saudari serta sanak famili mereka maka tidak ada di antara kaum wanita melainkan mengumpulkan kain dan memakainya sebagai pembuktian keimanan mereka terhadap apa yang diturunkan Allah dalam kitabNya. Mereka berada di belakang Rasululah Shalallaahu alaihi wasalam di saat Subuh dalam keadaan berjilbab seakan-akan di atas kepala mereka ada burung-burung gagak.”
Sumber : http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=312&parent_section=kj007&idjudul=1
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar