Oleh : Honaratus Pigai
Ilustrasi Dialog Jakrat-Papua |
Harapan luhur untuk mewujudkan kedamaian itu, selalu terganjal oleh berbagai nilai kekerasan, sampai mengakibatkan pertumpahan darah. Dewasa ini, jika kita membaca, mendengar dan mengikuti perkembangan media masa lokal, nasional maupun internasional, tema-tema kekerasan (ketidakadilan, ketidakamanan, pembunuhan dan lainnya) selalu menjadi berita utama.
Di Papua sejak rezim Orde Baru, pengiriman pasukan militer untuk Operasi Militer (DOM) di daerah konflik khususnya di Papua. Sampai saat sekarang pengiriman pasukan militer itu masih berlangsung. Dengan pengiriman pasukan, justru situasi keamanan tidak terwujud. Yang ditebarkan militer hanyalah ketidakamanan. Warga menjadi panik dan tidak dapat menjalani hidup seperti biasanya. Kedatangan militer dianggap membuat situasi berubah.
Sekedar untuk mengabil contoh konkrit bahwa suhu konflik di Papua, akhir-akhir ini sangat tegang. Situasi kembali memanas seusai KRP III (Kongres Rakyat Papua III), yang dilaksanakan pada 16-19 Oktober 2011. KRP III sudah selesai dilaksanakan dengan aman dan damai, dicegat dan mendapatkan tindak kekerasan yang brutal tanpa memperhitungkan peri-kemanusiaan, hingga jatuh korban tewas. Situasi ini membuat masyarakat mulai tidak percaya lagi kepada aparat keamanan dan percaya bahwa ketidakamanan dan ketidakdamaian bukan diciptakan oleh orang Papua.
Selain itu, Kabupaten Puncak Jaya kembali memanas. Organisasi Papua Merdeka (OPM) dianggap yang mengacaukan kedamaian di Puncak Jaya, dengan terus mengampanyekan kemerdekaan Papua Barat. Di sisi lain, pengiriman pasukan militer dalam jumlah yang besar ke Puncak Jaya, diharapkan membawa keamanan dan kedamaian, namun situasi itu tidak tercipta.
Lain hal lagi, Otonomi Khusus (Otsus), yang diharapkan dapat menyejahterakan rakyat Papua, tidak menjadi senjata ampuh dalam menyelesaikan masalah. Sebagian orang Papua dan masyarakat Papua sampai saat ini tidak mengenal yang namanya Otsus. Rakyat Papua menganggap Otsus hanya milik para elit politik Papua.
Otsus bukan milik rakyat. Salah satu fakta kita bisa melihat mama-mama pedangang asli Papua yang masih berjualan di emperan toko dan setiap ruas jalan, yang tanpa atap dan beralaskan karung.
Situasi-situasi demikian di atas, sebenarnya Papua masih berada di bawah garis penderitaan di atas tanahnya sendiri. PT. Freeport pun sama, kesejahteraan bagi rakyat Papua hanya menjadi mimpi di siang bolong. Karena memang PT itu bukan milik orang asli Papua yang sudah sejak lama beroperasi di daerah selatan Papua Tembagapura.
Sebagian masyarakat selalu bertanya-tanya "siapa dalang yang menciptakan keadaan penderitaan dan konflik di Papua? Pertanyaan kritis dan mendasar ini, diajukan karena masyarakat merindukan adanya keadaan damai di Papua, tanpa ada permusuhan antara sesama manusia yang mendiami Tanah Papua.
Ada banyak masalah di atas tanah Papua, yang mestinya ditangani secara serius dan damai. Perlu ada solusi yang diambil secara tegas. Supaya slogan Papua Tanah Damai yang dicanangkan beberapa waktu lalu, tidak berubah arti menjadi Papua Tanah Darurat.
Kalau benar-benar mau menciptakan tanah damai di Papua, sesuai slogan yang ada "PAPUA TANAH DAMAI" setiap orang (dari jajaran pemerintahan sampai masyarakat di kamapung-kampung) harus membangun kesadaran dan kerjasama serta mengubah struktur penindasan yang ada demi membangun tanah damai itu, yakni dengan sebuah jalan yang bisa diterima semua orang.
Dalam hal ini kata kunci yang mesti diterima adalah Dialog.Dialog antara kedua kubu yang saling bertikai. Duduk bersama dan membahas masalah-masah yang terjadi selama ini di Papua dan mengambil langkah kedamaian bersama. Dialog itu bukanlah sebuah tujuan, melainkan ‘jalan'. Jalan yang memungkinkan kita untuk menempuh melaluinya dan mencari solusi-solusi yang tepat.
Pater Dr. Neles Tebay, Pr dalam bukunya "Dialog Jakarta-Papua", sangat teliti menilai kondisi konflik yang berkembang dari tahun ke tahun, bulan ke bulan, minggu ke minggu dan hari ke hari, sampai detik ini. Seorang rohaniwan ini, mengambil jalan tengah untuk menyelesaikan konflik besar yang membawa ketidakamanan dan ketidakdamaian serta pertumbahan darah itu, dengan sebuah tawaran konsep dialog.
Tawaran ini rasanya bisa menjadi dasar untuk melangkah, membangun tanah damai di Papua. Untuk membangun kesadaran dan kerjasama demi satu tujuan yakni damai. Jaringan Damai Papua (JDP) telah bekerja keras untuk mendorong konsep dialog ini. Pada Konfrensi Perdamaian Papua (KPP), yang diselenggarakan di Auditorium Uncen (Universitas Cenderawasih Papua), pada 5-7 Agustus 2011 lalu, menjadi ajang yang telah berhasil melahirkan beberapa rekomendasi. Rekomendasi yang patut diterima. Dalam konfrensi itu, jelas melahirkan solusi untuk mengatasi suasana pendertiaan ini.
Karena itu, kita semestinya jangan menjadi penonton, tetapi menjadi pelaku dalam mendorong dialog. Karena tanpa dialog tidak akan ada pembicaraan terhadap persoalan. Persoalan akan terus terjadi hingga kematian diri kita masing-masing, kalau menjadi penonton. Maka setiap kita dari unsur pemerintahan, militer, LSM, toko agama, tokoh masyarakat dan berbagai pihak wajib mendorong terlaksananya dialog ini. Dialog yang merupakan jalan praktis demi keamanan, kedamaian dan keberadaban manusia di tanah Papua.
Mari kita ciptakan damai di tanah Papua. Walaupun susah untuk mencari kedamaian itu, tetapi dengan keyakinan penuh bahwa dialog yang bermartabat, akan menemukan tujuan yang bermartabat pula. Seperi tulisan yang sering saya baca di pamphlet/baliho yang terpajang di halaman depan KOREM Padangbulan Jayapura, dan itu diperdengarkan oleh TNI sendiri "Damai Dan Kasih Itu Indah." Semoga perjuangan kedamaian bersama ini tercipta.
Opini ini di terbitkan: kabarindonesia.com
*) Adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Fisafat Teologi (STFT) "Fajar Timur" Abepura-Jayapura-Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar