Selasa, 22 November 2011

Menata Timbangan Diri



Kirim Print

dakwatuna.com – Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)
Maha Besar Allah yang telah menciptakan dunia begitu indah. Awan pekat berbondong-bondong digiring angin. Hujan bersih menitik dari langit. Tumbuh-tumbuhan pun menghijau, menyegarkan pandangan mata. Dan, menyejukkan hati yang gelisah.
Saatnya diri untuk bercermin. Menengok seberapa kotor wajah karena terpaan debu kehidupan. Saatnyalah, menimbang diri dengan penuh kejernihan.
Resapilah bahwa diri terlalu banyak dosa, bukan sebaliknya
Di antara bentuk kelalaian yang paling fatal adalah merasa tidak punya dosa. Yang kerap terbayang selalu pada kebaikan yang pernah dilakukan. Dari sinilah seseorang bisa terjebak pada memudah-mudahkan kesalahan. Bahkan, bisa menjurus pada kesombongan. “Sayalah orang yang paling baik. Pasti masuk surga!”
Dua firman Allah swt. menyiratkan orang-orang yang lalai seperti itu. “Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu, orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104)
Bentuk lain dari sikap ini, adanya keengganan mencari fadhilah atau nilai tambah sebuah ibadah. Semua yang dilakukan cuma yang wajib. Keinginan menunaikan yang sunnah menjadi tidak begitu menarik. Ibadahnya begitu kering.
Padahal, Rasulullah saw. tak pernah lepas dari ibadah sunnah. Kaki Rasulullah saw. pernah bengkak karena lamanya berdiri dalam salat. Isteri beliau, Aisyah r.a., mengatakan, “Kenapa Anda lakukan itu, ya Rasulullah? Padahal, Allah sudah mengampuni dosa-dosa Anda?” Rasulullah saw. menjawab, “Apa tidak boleh aku menjadi hamba yang senantiasa bersyukur?”
Beliau saw. pun mengucapkan istighfar tak kurang dari tujuh puluh kali tiap hari. Setiapkali ada kesempatan, beliau saw. selalu memohon maaf kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan beliau. Beliau saw. khawatir kalau ada kesalahan yang tak disengaja. Kesalahan yang terasa ringan buat diri, tapi berat buat orang lain.
Berlatih diri untuk menerima nasihat, dari siapapun datangnya
Boleh jadi, sebuah pepatah memang cocok buat diri kita: gajah di pelupuk mata tak tampak, sementara kuman di seberang lautan jelas terlihat. Kesalahan orang lain begitu jelas buat kita. Tapi, kekhilafan diri sendiri seperti tak pernah ada.
Jadi, tidak semua orang yang paham tentang teori salah dan dosa mampu mendeteksi dan mengoreksi kesalahan diri sendiri. Rasulullah saw. pernah menyampaikan hal itu dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, “Pada hari kiamat seorang dihadapkan dan dilempar ke neraka. Orang-orang bertanya, ‘Hai Fulan, mengapa kamu masuk neraka sedang kamu dahulu adalah orang yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar?’ Orang tersebut menjawab, ‘Ya, benar. Dahulu aku menyuruh berbuat ma’ruf, sedang aku sendiri tidak melakukannya. Aku mencegah orang lain berbuat munkar sedang aku sendiri melakukannya.”
Dari situlah, seseorang butuh bantuan orang lain untuk menerima nasihat. Cuma masalah, seberapa cerdas seseorang menyikapi masukan. Kadang, emosi yang kerdil membuat si penerima nasihat banyak menimbang. Ia tidak melihat apa isi nasihat, tapi siapa yang memberi nasihat. Dan inilah di antara indikasi seseorang terjebak dalam sifat sombong. Sebuah sifat yang selalu menolak kebenaran, dan mengecilkan keberadaan orang lain.
Paksakan diri untuk bermuhasabah secara rutin
Sukses-tidaknya hidup seseorang sangat bergantung pada kemampuan mengawasi diri. Seberapa banyak kebaikan yang diperbuat dan seberapa besar kesalahan yang terlakoni. Kalau hasil hitungan itu positif, syukur adalah sikap yang paling tepat. Tapi jika negatif, istighfarlah yang terus ia ucapkan. Kesalahan itu pun menjadi pelajaran, agar tidak terulang di hari esok.
Masalahnya, orang yang cenderung santai, sulit melakukan muhasabah secara jernih. Timbangannya selalu miring. Yang terlihat cuma kebaikan-kebaikan. Sementara, dosa dan kesalahan tenggelam dengan tumpukan angan-angan.
Muhasabah yang tidak jernih kerap menonjolkan amalan dari segi jumlah. Bukan mutu. Padahal, Allah swt. tidak sekadar melihat jumlah, tapi juga mutu. Bagaimana niat amal, seberapa besar kesadaran dan pemahaman dalam amal tersebut. Dan selanjutnya, sejauhmana produktivitas yang dihasilkan dari amal.
Bahkan boleh jadi, orang justru jatuh dalam kesalahan ketika proses amalnya menzhalimi orang lain. Atau, amal yang dilakukan menciderai hak orang lain. Umar bin Khaththab pernah memarahi seorang pemuda yang terus-menerus berada dalam masjid, sementara kewajibannya mencari nafkah terlalaikan.
Umar bin Khaththab pula yang pernah memberikan nasihat buat kita semua. “Hisablah diri kamu sebelum kamu dihisab. Timbanglah amalan kamu sebelum ia ditimbang. Dan bersiap-siaplah menghadapi hari kiamat (hari perhitungan).”
Gandrungkan hati untuk tetap rindu pada lingkungan orang-orang saleh
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Seseorang adalah sejalan dan sealiran dengan kawan akrabnya. Maka, hendaklah kamu berhati-hati dalam memilih kawan pendamping.” (HR. Ahmad)
Nasihat Rasul ini tentu tidak mengharamkan seorang mukmin mendekati orang-orang yang tinggal di lingkungan buruk. Karena justru merekalah yang paling berhak diajak kepada kebersihan Islam. Tapi, ada saat-saat tertentu, seseorang lebih cenderung berada pada lingkungan negatif daripada yang baik. Bukan karena ingin berdakwah, tapi karena ingin mencari kebebasan. Di situlah ia tidak mendapat halangan, teguran, dan nasihat. Nafsunya bisa lepas, bebas, tanpa batas.
Ketika seseorang berbuat dosa, sebenarnya ia sedang mengalami penurunan iman. Karena dosa sebenarnya bukan pada besar kecilnya. Tapi, di hadapan siapa dosa dilakukan. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah memandang kecil (dosa), tapi pandanglah kepada siapa yang kamu durhakai.” (HR. Aththusi)



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar