Selasa, 29 November 2011

Sarah's Key

Judul: Sarah's Key
Penulis: Tatiana De Rosnay
Penerjemah: Lily Endang Joeliani
Penerbit: PT. Elex Media Komputindo
Tahun: 2011
Hlm: 356
ISBN: 978602000923


Review:


Kisah dimulai pada musim panas di Prancis, Juli 1942 pada malam hari terjadi pengumpulan besar-besaran terhadap orang Yahudi oleh polisi Prancis sendiri. (atas perintah Jerman) Sebelumnya sudah santer beredar rumor akan adanya penggerebekan besar-besaran terhadap kaum Yahudi, tapi biasanya yang ditangkapi hanyalah para laki-laki saja. 

Makanya, ayah Sarah Starzynski sudah berhari-hari bersembunyi di bawah tanah. Tapi siapa sangka penggerebekan kali ini juga menyertakan perempuan dan anak-anak. Jadi, ketika pintu rumah Sarah digedor oleh polisi Perancis yang menyuruh mereka segera mengemasi perbekalan untuk beberapa hari saja, Sarah sangat terkejut, sedangkan Michele adik laki-lakinya ketakutan. Michele akhirnya bersembunyi di lemari mereka yang menyatu dengan dinding, tak ada yang tahu tempat persembunyian itu kecuali keluarga mereka. Sarah dengan polos menuruti permintaan adiknya, ia pikir mereka hanya pergi sebentar saja. Jadi, Sarah mengunci lemari itu dari luar, menyimpan kuncinya, dan berjanji bahwa ia akan segera kembali untuk menjemput Michele.

Enam puluh tahun kemudian, Julia Jarmond, seorang jurnalis paruh baya asal Amerika, yang telah 25 tahun tinggal di Perancis ini bertugas meliput fakta-fakta tentang Vel' d'Hiv' dan terutama menemukan saksi mata serta orang-orang yang berhasil bertahan hidup untuk diwawancarai. Rupanya hidup Julia dan keluarga suaminya memiliki hubungan yang erat dengan kisah Sarah Starzynski. Kepekaan dan rasa ingin tahunya yang besar menyeret Julia untuk mencari tahu bagaimana nasib Sarah. Pertanyaan terbesarnya adalah apakah Sarah berhasil kembali untuk adiknya?

Novel ini terinspirasi dari kejadian Velodrome d'Hiver yang terjadi pada masa pendudukan Jerman, pada saat itu kekuasaan Nazi mulai masuk hingga ke negara Prancis. Sarah dan orang tuanya tak terkecuali salah satu keluarga Yahudi yang ikut tergiring ke Velodrome d'Hiver (stadion indoor) sebelum nantinya dikirim ke Auschwits untuk dimasukkan dalam kamar gas. Juga novel kedua terkait Holocaust yang saya baca setelah novel klasik The Boy in he Striped Pyjamas.

Tatiana De Rosnay mengangkat topik sensitif dan menghadirkannya dalam fiksi yang sangat mengena tanpa terkesan terlalu dibuat-buat. Dengan penyampaian yang menarik meski tidak dapat digolongkan ringan membuat saya betah membaca buku ini. Saya salut sekali dengan kepiawaian penulis yang membuat tema berat menjadi sesuatu yang sangat mudah dibaca.

Kehadiran tokoh Sarah yang masih kanak-kanak juga terdeskripsi dengan apik, dimana karakternya penuh dengan emosi kebingungan dan pemahaman lugu sejauh yang secara psikologis mampu diterima oleh anak berusia sepuluh tahun dalam kondisi tertekan. Untungnya diimbangi sudut pandang Julia Garmond dari sisi karakter yang serba tahu mengenai tragedi penangkapan tersebut sehingga ada pemahaman mendalam yang mampu menjembatani pembaca dalam menjawab berbagai pertanyaan dari peristiwa yang dialami Sarah.

Buku yang menarik ini rupanya juga telah difilmkan dengan judul yang sama Sarah's Key (judul aslinya Elle s'appelait Sarah) pada tahun 2010 lalu. Saya suka sekali pemeran Sarah dalam film ini. Secantik yang saya bayangkan.



Tentunya versi film sedikit berbeda dengan bukunya meski secara garis besar mampu menyajikan seluruh esensi dari kisah aslinya. Yang saya suka dari adaptasi film  ini adalah terekamnya adegan-adegan yang menyentuh secara emosional dapat tervisualisasikan dengan baik. Seperti adegan pemisahan para ibu dengan anak-anaknya secara paksa. Dan bahkan ada adegan pencarian yang dilakukan Julia Jarmond  saat di Amerika yang secara logis mengungkap beberapa hal yang sempat menjadi tanda tanya besar bagi saya saat membaca bukunya.

Seperti yang diungkapkan Tatiana De Rosnay dalam Catatan Penulis bahwa novel ini tidak dimaksudkan menjadi buku sejarah, melainkan untuk menghormati anak-anak Vel' d'Hiv' yang tidak pernah kembali dan anak-anak yang selamat untuk berbagi cerita. Kisah Sarah ini menyadarkan saya bahwa kita adalah apa yang dihasilkan oleh sejarah hidup kita selama ini. Anak-anak yang berhasil bertahan hidup harus terus hidup dengan membawa mimpi buruk atas apa yang pernah mereka alami. Mereka tidak pernah benar-benar bisa lepas atau lupa. 

Saya bertanya-tanya, apakah mereka yang bertahan hidup tidak lebih beruntung dari mereka yang tidak pernah selamat?  


PS: Ditulis dalam rangka posting bersama buku Sarah's Key dengan #BBI

OPM Ulang Tahun, SBY Diimbau Datang ke Papua

Menurut Kontras, Presiden Yudhoyono harus mendengarkan langsung keluh kesah rakyat Papua.

VIVAnews - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (Kontras) mengimbau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar hadir di Papua saat peringatan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1 Desember mendatang. Momen itu, menurut Kontras, merupakan kesempatan yang sangat baik untuk menggelar dialog antara pemerintah dengan OPM.

"Kalau SBY mau fair, dia harus hadir saat peringatan OPM 1 Desember nanti. Saat itu meja dialog dibuka seluas-luasnya bagi seluruh masyarakat Papua dengan pemerintah pusat. Ini kesempatan emas buat SBY sebagai pemimpin tertinggi di Indonesia," kata Koordinator Kontras, Haris Azhar, hari ini di Kuta, Bali.

Menurut Haris, ruang dialog pasti terbuka lebar bagi rakyat Papua terutama apabila menggunakan momen-momen bersejarah seperti pada hari peringatan OPM. Dialog itu,kata dia, nantinya harus memenuhi persyaratan, termasuk mematuhi protokoler negara.


"Saya yakin, rakyat Papua akan sangat senang bila dialog dilakukan bertepatan dengan momen tersebut, sehingga semua persoalan menjadi transparan, termasuk tuntutan rakyat Papua untuk merdeka. Lebih baik didengar langsung oleh SBY ketimbang disampaikan melalui orang lain yang kemungkinan sebagian besar sudah difilter," tutur Haris.

"Saya yakin rakyat Papua masih waras dan tidak ingin berpisah dari Indonesia sejauh berbagai tuntutan dan keadilan terpenuhi di Papua," lanjut Haris.

Dia mengatakan dialog adalah jalan terbaik untuk penyelesaian masalah di Papua. Namun, kata Haris, yang terjadi saat ini justru pendekatan represif yang dikedepankan oleh pemerintah, yaitu dengan pendekatan keamanan menggunakan TNI dan Polri.
"Bahkan, jelang peringatan HUT OPM, terjadi penambahan personil pasukan ke Papua dari TNI maupun Polri. Ini bukan penyelesaian yang baik bagi masalah di Papua. Penambahan personil pasukan tersebut hanya akan menambah luka batin orang Papua," kata Haris.

Dalam pantauan Kontras, tindak kekerasan di Papua terus meningkat dalam 11 tahun terakhir. Peningkatan angka kekerasan di Papua terbanyak terjadi pada tahun 2011. Pelaku kekerasan terutama dilakukan oleh oknum aparat keamanan baik TNI maupun Polri dengan motif yang sangat beragam mulai dari perebutan lahan bisnis sampai dengan tuduhan makar dan sebagainya. (ren)

Laporan: Bobby Andalan l Bali

Kontras: Warga Papua Diserang Teror

Peneror, katanya, mengaku berasal dari aparat kepolisian dan TNI.

VIVAnews – Koordinator Kontras Haris Azhar menyatakan, saat ini pihaknya banyak menerima aduan dari masyarakat dan mahasiswa asal Papua di beberapa kota besar yang merasa terancam. Ancaman ini diterima paska-penembakan saat Kongres rakyat Papua digelar beberapa waktu lalu.

Kerusuhan di Papua (REUTERS/ Stringer )


Haris mengakui jika Kontras sudah menerima beberapa pengaduan dari masyarakat Papua di berbagai kota di Indonesia. Modusnya, tutur Haris, mereka diteror, dimintai identitas secara paksa, diancam akan dibunuh dan ada yang mengancam akan mengusir dan membuangnya ke laut.
BERITA TERKAIT

Teror semacam ini, sambung Haris, sering dialami warga Papua dalam beberapa pekan terakhir pasca-merebaknya kasus penembakan di Papua baru-baru ini.

"Ini sesuatu yang tidak benar karena mereka adalah warga negara Indonesia yang berhak mendiami tanah airnya di mana saja," ujarnya, di Kuta, Bali, Selasa 29 November 2011.

Ia mengimbau kepada mahasiswa dan warga asal Papua yang sedang kuliah atau bekerja di berbagai daerah di Indonesia untuk berhati-hati menanggapi isu eksodus mahasiswa atau masyakarat Papua dari berbagai kota besar di Indonesia. Imbauan tersebut juga ditujukan kepada seluruh elemen bangsa, terutama para pengambil kebijakan atau pemerintah pusat.

"Dugaan kita, isu ini sengaja dihembuskan untuk memicu sentimen geopolitik dan memperkeruh suasana yang ada. Kita tahu saat ini Papua sedang bergolak, lalu ada oknum yang tidak bertanggungjawab sengaja memperkeruh suasana agar konflik ini semakin memuncak," ujar Haris.

Beberapa kota besar yang sering mengalami teror bagi rakyat Papua adalah Jakarta, Surabaya, Bandung, Makassar dan terakhir Denpasar. Di Denpasar, telah terjadi teror bagi salah satu mahasiswa asal Papua. Oknum yang mengaku diri aparat mendatangi penginapan mahasiswa asal Papua dengan alasan meminta identitas lengkap.

Permintaan tersebut ditolak karena dinilai terlalu berlebihan. "Kalau hanya minta identitas, kenapa tidak langsung saja ke pemilik kontrakan, RT, RW setempat. Permintaan tersebut juga disertai ancaman. Ini sesuatu yang tidak benar dan dinilai melanggar hukum dan HAM," ujarnya.

Hingga saat ini Kontras terus menerima pengaduan dari mahasiswa dan masyarakat Papua yang berada di luar Papua. Pengaduan tersebut berisikan tentang permintaan dan mohon perlindungan akibat intimidasi dari kelompok-kelompok tertentu yang mengaku diri sebagai aparat keamanan.

Namun demikian, Kontras belum bisa memiliki data yang pasti tentang eksodus orang Papua yang berasal dari berbagai kota besar di Indonesia.

Laporan: Bobby Andalan | Bali
VIVAnews

ILWP Statement in advance of West Papua's independence day commemorations



Statement in advance of 1 December commemorations in West Papua

This Thursday, 1 December 2011, marks the 50th anniversary of West Papua’s declaration of independence from the Dutch and the first raising of the West Papuan ‘Morning Star’ flag. Rather than celebrating 50 years of independence, West Papuans will be protesting their continued occupation by Indonesia. Thousands of West Papuans will take to the streets to engage in peaceful protests and flag raising ceremonies to commemorate the events of 1 December 1961 and to call for Indonesia and the international community to respect their right to self-determination under international law.



The political situation in West Papua is tense following the recent excessive and lethal force by Indonesian security forces at the Third Papuan Congress, a peaceful assembly at which Papuans exercised their right to freedom of speech and assembly to meet and to voice their desire for self-determination. The attacks resulted in at least 3 protestors being killed, 90 persons being injured and approximately 300 persons arrested. At least five prominent protesters remain in detention for peacefully expressing their opinions.
International Lawyers for West Papua expresses its concern that 1 December 2011 will see a repeat of the recent violence and human rights abuse in Papua.
International Lawyers for West Papua respectfully calls upon the Indonesian authorities to:
  1. Ensure that the people of West Papua are able to exercise their rights to freedom of expression and assembly, in accordance with Indonesia’s international obligations and the Indonesian Constitution, to participate in peaceful demonstrations and flag-raisings;
  2. Ensure against the unnecessary use of excessive force and arbitrary detentions by security forces on and around 1 December 2011;
  3. Immediately release all prisoners of conscience currently being held in arbitrary detention for peacefully protesting for self-determination, including Filip Karma;
  4. Repeal all laws which criminalise the peaceful expression of opinions and, in particular, the peaceful expression of West Papuans’ desire for self-determination.
International Lawyers for West Papua respectfully calls upon governments to:
  • Deploy embassy staff to Papua to monitor and observe events on 1 December given the lack of international observers as the result of current restrictions on access for journalists and international organisations;
  • Urge the Indonesian government to ensure full and free access of journalists and international human rights organisations to Papua;
  • Call for an immediate, full and impartial investigation into the deaths and injuries arising from the Third Papuan Congress on 19 October and accountability for those involved;
  • Reiterate support for the rights to freedom of expression, assembly and association and condemnation of excessive use of force and the suppression of peaceful protest in Papua;
  • Urge Indonesia to release all persons detained in Papua for the peaceful expression of their political views; and
  • Urge Indonesia to repeal all criminal laws, such as the makar or treason provisions, which are being used to criminalise dissent and the exercise of the fundamental right of freedom of expression.
Legal Background and Significance of 1 December for West Papuans
On 1 December 1961, West Papuans raised their flag, the Morning Star, and sang their national anthem as they formally announced their independence from the Dutch. Today, raising that same flag attracts prison sentences of up to 15 years in Indonesian courts. The importance of 1 December for West Papuans and the annual peaceful flag raisings held to commemorate this day is only properly understood in the historical context of West Papua’s ongoing struggle for self-determination.
West Papua is the western half of the island of New Guinea. The other, better-known half of the island is the independent state of Papua New Guinea (PNG). The Melanesian peoples of West Papua and PNG share similar ethnicities, cultures and religions: only their different colonial past sets them apart. West Papua was colonised by the Dutch and formed part of the Dutch East Indies. When Indonesia was granted independence after WWII, West Papua remained under Dutch control. Distinct from Indonesians in ethnicity, culture, history and religion, West Papuans were to be given independence.
Successive UN General Assembly resolutions recognised the independent state of Indonesia but noted specifically that West New Guinea was not part of Indonesia. Listed as a UN Non-Self Governing Territory, the Dutch held the territory of West New Guinea in “sacred trust” until such time the Papuans right to self-determination could be implemented through self-government and the creation of an independent West Papuan state. In 1961 the West Papuan national parliament was elected and officials from Australia, Britain, France, the Netherlands, New Zealand, and members of the South Pacific Commission attended the inauguration. With the flag and anthem recognised by the Dutch, Parliament voted for independence and it came into effect on 1 December 1961. On that day, the Morning Star flag was raised for the first time.
Then Indonesia invaded. To protect the West Papuans, the Netherlands and their ally in the region, Australia, prepared for war. The US – concerned about losing Indonesia to the Russians and keen to secure lucrative mining contracts – intervened. Facing US pressure and continued Indonesian military incursions, the Dutch agreed to a UN and US-brokered settlement: the 1962 New York Agreement. West Papuans, unanimous in their demand for independence, were not consulted.
Under the Agreement, West Papua administration was transferred from the Netherlands to a United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) and to UN-supervised Indonesian administration in 1963, pending a vote for self-determination which would determine West Papua’s fate.
Having signed concession agreements with US mining company Freeport for the exploitation of West Papua’s natural resources in 1967, Indonesia had no intention of allowing West Papuan independence in 1969. With the acquiescence of the UN and the international community, Indonesia conducted a violent military campaign against the Papuan leadership and Papuan people.
Between 1962 and 1969 in the lead up to the vote, the Indonesian military is estimated to have killed 30,000 West Papuans. Frank Galbraith, US Ambassador to Indonesia at the time, warned that Indonesian military operations and abuses “had stimulated fears… of intended genocide among the [Papuans].” An Australian journalist, Hugh Lunn, reported that West Papuans protesting for a democratic vote were arrested by the Indonesian military. Others were killed.
In 1969 and under UN supervision, Indonesia held the now-discredited “Act of ‘Free’ Choice”, popularly known as the “Act of ‘NO’ Choice”. A handpicked group of 1,022 West Papuans (of an estimated population of 800,000) were coerced into voting unanimously for integration with Indonesia under threat of violence.
UN officials admitted in private that 95% of Papuans supported independence. British diplomatic correspondence noted that the UN wanted quick resolution of the matter, but “[p]rivately…we recognise that the people of West [Papua] have no desire to be ruled by the Indonesians…and that that process of consultation did not allow a genuinely free choice to be made.” Former United Nations Under-Secretary General Chakravarthy Narasimhan, who handled the Indonesian takeover, has since admitted that the process was a “whitewash”. Distinguished international jurists have dismissed the 1969 vote as a “spurious exercise”, amounting to a substantive betrayal of the principle of self-determination.
But as UN Representative Sanz told Australian journalist Hugh Lunn, “West [Papua] is like a cancerous growth on the side of the UN and my job is to surgically remove it”. In November 1969, the UN approved the outcome of the sham vote and West Papua became a province of Indonesia.
The West Papuan parliament’s declaration of independence on 1 December 1961 was ignored, along with their right to self-determination under international law. West Papuans were sacrificed in the name of Cold War politics and natural resources.
This year marks 50 years since the West Papuans declaration of independence from the Dutch. But instead of celebrating 50 years of independence and the end of colonial rule, West Papuans will be protesting their continued occupation by Indonesia and peacefully demanding their right to self-determination. Had the UN – and the Dutch – properly discharged their sacred trust under the UN Charter, West Papuans would this week be celebrating 50 years of independence, rather than 48 years of oppression under Indonesian rule.
Since that time Indonesia has committed crimes against humanity against the West Papuan people. Both Yale and Sydney Universities have reported the situation is approaching genocide. In 2006 a West Papuan delegate to the UN Economic and Social Council Working Group on Indigenous Rights reported alarming figures:
‘At the end of 1960…the West Papuan population amounted to 800,000 - more than the 600,000 people of their brother and sisters in Papua New Guinea (PNG)… in 2004 [West Papuan] indigenous people amounted to only 1.5 million, whereas the PNG indigenous population had grown to 6 million. We fear that corrupt business interests have wanted to deny West Papuan self determination until foreign nationals outnumber our indigenous population, making us a minority in our own land.’
These crimes against humanity continue today. Earlier this month, Indonesian security forces used excessive and lethal force against the Papuans gathered at the Third Papuan Congress, a peaceful assembly at which Papuans exercised their right to freedom of speech and assembly to meet and to voice their desire for self-determination. Indeed, the Third Congress once again declared independence from Indonesia. The response was violent retaliation by Indonesian police and military. The attacks resulted in at least 3 protestors being killed, 90 persons being injured and approximately 300 persons arrested. At least five prominent protesters remain in detention for peacefully expressing their opinions.
West Papuans insist that their right to self-determination was denied and call for a new “one person one vote” referendum. A growing list of international parliamentarians and lawyers are calling on the UN Secretary General to initiate a review of the UN’s conduct in West Papua and for a fresh referendum. As Archbishop Desmond Tutu, a supporter of West Papua’s campaign for UN review, has asserted “[a] strong United Nations will be capable of, among other things, acknowledging and correcting its mistakes”.
In 1999 most observers hailed the success of the UN administration in East Timor (UNTAET), the conduct of the vote for self-determination and East Timor’s transition to independence from Indonesia. But few people are aware of the UN’s failure in its first - and disastrous - attempt at administration in the nearby Indonesian province of West Papua more than 40 years earlier. East Timor got a democratic vote. West Papua got a sham vote. East Timor got independence. West Papua became part of Indonesia.
For West Papuans, 1 December is their independence day and they continue to recognise it each year with symbolic flag raisings to assert their right to self-determination. As a matter of international law, 1 December should properly be recognised as their independence day.

Indonesia fails to end strike at Papua mine

Workers in troubled province demand higher pay from US owners of gold and copper mining complex
 
 INDONESIA-FREEPORT-STRIKE
    Striking Freeport workers manning a roadblock where the company pipeline used for gold concentrates was cut. Photograph: AFP this publihed:  Theguardia.co.uk
    For weeks a strike has paralysed work at a giant mining complex at the foot of Mount Puncak Jaya in the central highlands of Papua, Indonesia, where the majority of the population are indigenous Papuans. The strike, by a third of the 23,000-strong workforce, is driving up the world prices for copper and gold. The Glasberg mine – 90% owned by the US conglomerate Freeport McMoRan and 10% by Indonesia's government – contains one of the world's largest reserves of these minerals. The miners are protesting against low wages – considering working conditions, the risks they are exposed to, and the cost of living in this isolated spot, 4,000km east of the capital, Jakarta. Tension has been mounting for several weeks, with more than 8,000 miners blocking access roads and preventing other workers from entering the site. The conflict began three months ago, and there is still no prospect of a settlement. Appeals by President Susilo Bambang Yudhoyono for a solution have had no effect. The province where the mine is located covers the western half of a very large island. Papua New Guinea, independent since 1975, occupies the eastern part. Papua province was controlled by the Dutch until it was ceded to Indonesia in 1969. The region has been unsettled ever since. A conflict – largely ignored by the outside world – has pitted separatist forces against the Indonesian army. The province, which is closed to western media, is more or less run by the military. There have been recurrent allegations of serious human rights abuses by the army. On 14 November thousands of demonstrators marched through the provincial capital, Jayapura, demanding independence. At the start of the dispute, the workers at Glasberg, who earn the equivalent of $1.50 an hour, were demanding a 20-fold wage increase. They subsequently scaled back their claim, asking for just $4. Freeport has offered another 53 cents, but the strikers rejected this. Since then there has been deadlock. The conflict is costing the company and the country a great deal. Freeport, which reported $5bn profits on Glasberg operations in 2010, has announced losses of $19m a day since the strike began. Revenue from the mine generated about $1.4bn in tax and royalties for the government in the first half-year of 2011, according to the Jakarta Globe. Freeport says part of the government revenue finds its way back to the province, accounting for more than two-thirds of its budget – but the strikers dispute this. This article originally appeared in Le Monde

SINOPSIS 49 DAYS Episode 1 - Episode Terakhir



Detail:  
Judul: 49 Days
Hangul: 49일
Genre: Fantasy drama, romance
Episodes: 20 (Belum dikonfirmasi)
Channel: SBS
Periode Tayang: 16 Maret 2011 - 19 Mei 2011
Jam Tayang: Tayang: Rabu & Kamis, 21:55
Bahasa: Korean
Negara: Korea Selatan


Drama “49 Days” bercerita mengenai seorang wanita dari keluarga kaya Sin Ji-hyeon (diperankan Nam Gyu-ri) yang sebentar lagi akan menikah dengan tunangannya (Bae So-bin), Tapi sebuah kecelakaan mobil membuatnya koma dan menghantarnya ke pintu gerbang kematian. Rohnya yang telah meninggalkan tubuhnya bertemu dengan “malaikatnya” Song Yi-soo (Jung Il-woo) yang bertugas mengumpulkan roh orang mati. Oleh Song Yi-soo, ia dibantu kembali ke kehdupan nyata dengan meminjam tubuh seseorang, Song Yi-kyeong (Lee Yo-won). Agar bisa tetap hidup, ia harus mendapat air mata yang tulus dari 3 orang yang mencintainya(kecuali orang tuanya) dalam waktu 49 hari. (Dalam agama Budha, dipercayai bahwa roh seseorang yang telah meninggal berada dalam masa transisi selama 49 hari, di mana karmanya selama hidup akan menentukan bagaimana rohnya akan bereinkarnasi pada kehidupan selanjutnya.).
Bagaimana Sin Ji Hyeon memanfaatkan 49 harinya itu? Mampukah ia mendapatkan air mata 3 orang pria yang tulus mencintainya?
Untuk Baca Sinopsis Serial Drama 49 Days  Episode 1- Episode Terakhir silahkan klik link Dibawah ini
49 Days Episode 16 Part 1Part 2 
49 Days Episode 18 Part 1Part 2 

Sumber By Kdrama 
Sinopsis By Kadorama Recaps

Polisi Halangi Otopsi Jenazah Mahasiswa Papua

TEMPO.CO, Jakarta - Rekan-rekan Carly Wilson Takimai menuding polisi menghalangi otopsi yang akan dilakukan kepada jenazah mahasiswa asal Papua itu. Tak lama setelah Carly meninggal dunia, polisi meminta jenazah Carly agar langsung dibawa pulang. “Polisi mengusulkan agar jenazah Carly tak diotopsi,” kata rekan Carly, Oktovianus Togau, saat dihubungi Selasa, 29 Novembver siang.

Okto juga menduga polisi menekan pihak Rumah Sakit Tebet agar tim dokter dan perawat tak meladeni permintaan otopsi. Buktinya, jenazah Carly sempat terbengkalai di rumah sakit itu beberapa jam. Lewat kesepakatan teman-teman Carly, jenazah dibawa ke Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta Pusat, agar bisa diotopsi. Hingga kini jenazah tersebut masih disemayamkan di sana. “Kami masih menunggu otopsi dari Carolus,” kata Okto.

Carly meninggal dunia di RS. Tebet sekitar pukul 22.00 tadi malam. Ia tewas dalam keadaan mulut berbusa, perut membesar, dan tubuh yang membengkak. “Ia tewas diracun,” kata Okto. Senin pagi, Carly masih terlihat bugar. Siang hari baru mereka melihgat Carly mulai meracau. Mereka sempat membawa Carly ke rumah sakit dua kali.

Saat di rumah sakit, kata Okto, selalu ada polisi berseragam yang mengawasi mereka. Padahal, mereka tidak memberitahukan siapapun saat Carly dibawa ke rumah sakit. Saat Carly meninggal, polisi mengerubungi mereka. Jumlahnya mencapai belasan orang. Mereka ini yang kemudian “mengawal” jenazah Carly saat di RS Tebet. “Mereka dari Polsek Tebet,” kata Okto.

Carly adalah salah seorang mahasiswa Papua yang selama ini paling vokal menentang penggeledahan kontrakan mereka di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Penggeledahan pada Jumat malam 11 November 2011 kemarin diduga karena ada kaitannya dengan perayaan 50 tahun Organisasi Papua Merdeka. Tak senang digeledah, Carly dan teman-temannya mengadu ke Komnas HAM pekan lalu.

Senin, 28 November 2011

Joint Letter to Minister Rudd on Promoting Respect for Human Rights in Papua

The Hon Kevin Rudd MP
Foreign Minister
Parliament House
Canberra ACT 2600, Australia

Dear Minister Rudd,

Re: Promoting respect for human rights in Papua
We are writing because 1 December 2011 marks the 50th anniversary of the first raising of the West Papuan ‘Morning Star’ flag. This date is considered by many Papuans as their unofficial ‘Independence Day’ and it is almost certain that protests and flag raising ceremonies will be held throughout Papua on this day.

As you are aware, tensions have been heightened in Papua following the recent use of unnecessary or excessive force, including lethal force, by Indonesian police and military forces on a peaceful assembly of the Third Papuan People’s Congress. The attacks on 19 October resulted in at least three protesters being killed, at least 90 persons being injured, and approximately 300 arrested. While we understand the majority of those arrested have now been released, at least five prominent protesters are still being detained for peacefully expressing their views and should be immediately released. Moreover, the authorities should take action to ensure against the use of unnecessary or excessive use of force by the security forces during any protests on and around 1 December.
While Human Rights Watch and the Human Rights Law Centre do not take any position on claims to self-determination in Papua, we do support the rights of all persons to freedom of expression, peaceful assembly and association in accordance with the International Covenant on Civil and Political Rights, which Indonesia has ratified. All persons, including independence supporters, should be allowed to express their political views peacefully without fear of arrest or reprisal. Further, consistent with international law, any use of force by police or military forces must be strictly necessary, proportionate and exercised for a legitimate purpose in accordance with the United Nations Basic Principles on the Use of Force and Firearms.
In light of Australia’s close relationship with Indonesia, together with the Australian government’s commitment to human rights and the rule of law, we call on you to take the following steps to reduce the likelihood of violence, the use of excessive force, and the suppression of peaceful protest:
  1. Urge the Indonesian government to ensure full and free access of journalists to Papua; because of such restrictions, deploy Australian embassy staff to Papua to monitor and observe events on 1 December.
  2. Reiterate your government’s support, both publicly and privately with relevant Indonesian officials, for the rights to freedom of expression, assembly and association and your unequivocal condemnation of excessive use of force and the suppression of peaceful protest. We note that US Secretary of State Hillary Clinton recently confirmed that the US has “very directly raised concerns about the violence and the abuse of human rights” in Papua. In our view, a clear and firm public statement on Australia’s position on human rights in the area is critical, especially since there is a real risk that Australian Ambassador Greg Moriarty’s recent reference to the actions of Papuan People’s Congress leaders as “illegal, provocative and counterproductive” may otherwise be interpreted as supporting a government crackdown on the Congress. While the Lombok Treaty between Indonesia and Australia affirms the “sovereignty, unity, independence and territorial integrity of both Parties” it also requires respect for obligations under international law and the UN Charter.
  3. Call for an immediate, full and impartial investigation into the deaths and injuries, and allegations of excessive use of force by the authorities, arising from the demonstration on 19 October. Accountability for Indonesian police and military personnel implicated in human rights abuses is critical, especially given the increasing military and security cooperation between Australia and Indonesia. Respect for human rights and the rule of law should be essential pillars of Australia’s engagement in Indonesia.
  4. There is clear evidence that a number of peaceful activists, politicians and religious clergy in Papua have been subject to arbitrary arrest, imprisonment, harassment and violence. The Australian government should urge Indonesia to release all persons detained in Papua for the peaceful expression of their political views, and not conflate the fundamental rights of freedom of expression and dissent with criminal activity. The UN Working Group on Arbitrary Detention issued a legal opinion on Filep Karma, a prominent Papuan political prisoner, asking the Indonesian government to “immediately release” him.
Australia plays a critical leadership role on human rights in Asia and the Pacific and should take a principled and proactive stand on human rights with a key partner like Indonesia. The above-mentioned steps we urge you to undertake are both desirable and necessary to reduce the likelihood of violence, use of excessive force or the suppression of peaceful protest in Papua.
We would be pleased to meet with you to further discuss our concerns.

Yours sincerely,

Philip Lynch                                                              Phil Robertson
Executive Director                                                 Deputy Director, Asia Division
Human Rights Law Centre                                     Human Rights Watch

                                        


CC:

The Hon Stephen Smith MP
Minister for Defence

The Hon David Feeney
Parliamentary Secretary for Defence

Mr Denis Richardson
Secretary
Department of Foreign Affairs and Trade

Tom Connor
Indonesia, Regional Issues and East Timor Branch
Department of Foreign Affairs and Trade

The Hon Julie Bishop MP
Deputy Leader of the Opposition and Shadow Foreign Minister

PGI Minta Pemerintah Undang PBB ke Papua

JAKARTA--MICOM: Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia menyambut baik inisiatif pemerintah untuk membentuk Upaya Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) agar bisa segera menyelenggarakan dialog Jakarta-Papua.

Selain itu, PGI juga meminta Pemerintah Indonesia agar memberikan kesempatan bagi Amnesty Internasional untuk berkunjung ke Papua dan mengundang Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-bangsa.

"PGI mendesak agar dialog Papua-Jakarta segera dilaksanakan,"kata Sekretaris umum PGI Pdt Gomar Gultom, di Jakarta, Senin (28/11).


Selanjutnya, menurut Gomar, sambil mempersiapkan pelaksanaan dialog, semua aksi kekerasan di Papua dan penyisiran oleh aparat keamanan harus dihentikan.

"Kami minta pemerintah untuk segera menarik seluruh pasukan non-organik dari Papua, dan menempatkan aparat secara proporsional dan profesional."

Selain itu, lanjut dia, segala bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua harus diusut tuntas dan diselesaikan sesuai hukum yang berlaku.

Dalam hal ini PGI sangat berharap ketegasan pemerintah dalam mengakhiri praktek impunitas yang begitu sistematis dalam berbagai insiden yang terjadi di Papua.

Minggu, 27 November 2011

A Man of Peace in West Papua

Rev Herman Awom
On Sunday I received an SMS from West Papua. It read  “The days are coming declares the Lord when I will raise up to David a righteous Branch, a King who will reign wisely and will do what is just and right in the land.”
This text is from the Hebrew Bible and it speaks out of the experience of an ancient people living in exile who longed for justice and peace in their homeland.
The SMS was accompanied with the words “Selamat memasuki Adven” or “welcome to the entering of Advent”.
Advent is the period we celebrate before Christmas and it marks a time of waiting and expectation as the “Prince of Peace” is born among us.
My friend, the Rev Herman Awom, sent me this SMS. Herman is a minister with the Evangelical Christian Church in the Land of Papua. He is a passionate man committed to justice and peace for his people. Herman has been instrumental in setting up a clinic on his home island of Numfor to care for his people.  He has spoken out, often at risk, to raise concerns about human rights abuses in West Papua and he has been an active mediator in the community to ensure peaceful outcomes to very tense and often explosive issues.

Thursday December 1st will be a critical day in West Papua as many Papuans gather to mark the first declaration of independence some 50 years ago in 1961. People are anxious about the future while Indonesian security forces are ready to act. History indicates their responses could be violent and brutal.
My friend, Herman Awom, is deeply committed to a peaceful resolution to the emerging crisis. Justice and peace will come at a cost. Hermon knows this.
Pray for our sisters and brothers in West Papua this week as they, like the ancient people of Israel, cry of for justice and peace. Remember our friends in West Papua as they wait with hope and with expectation for their true liberation.

Aparat Jangan Main Tembak

Ketua PGGP Jelang 1 Desember:

Pdt Lipus Biniluk saat membacakan pernyataan
Ketua PGGP, Lipius Biniluk
JAYAPURA – Momen 1 Desember terus mengundang perhatian berbagai  pihak.  Ini tidak lain karena banyaknya isu-isu meresahkan  menjelang 1 Desember yang oleh pihak tertentu diklaim sebagai hari kemerdekaan bangsa Papua. 
Kali ini datang  dari Ketua Persekutuan Gereja- Gereja Papua (PGGP) Pdt Lipius Biniluk,S.Th. Ia  berharao kepada aparat keamanan,  baik TNI maupun Polri agar lebih mengedepankan   pendekatan persuasif ketimbang kekerasan dalam menangani setiap kegiatan masyakat, termasuk jika memang ada pengibaran Bintang Kejora (BK).   “Kalau ada orang Papua yang mengibarkan bendera Bintang Kejora, kami sangat berharap kepada aparat baik TNI maupun Polri untuk tidak langsung bereaksi dengan menembaknya. Baiknya datangi dan turunkan saja benderanya. Pengibarnya hendaknya ditangkap saja dan diproses hukum,” jelas Pdt Lipius Biniluk,S.Th selaku Ketua Persekutuan Gereja- Gereja Papua (PGGP) saat menggelar jumpa pers, di Rumah Makan Maranli, Abepura, Sabtu (26/11).
Pernyataan ini  menyikapi situasi Politik, Keamanan, dan Ketertiban Masyarakat (Polkamtibmas) di Papua dan Papua Barat yang diwarnai berbagai gejolak akhir-akhir ini, terutama terkait berbagai isu maupun antisipasi pelaksanaan peringatan 1 Desember yang diyakini sejumlah komponen orang Papua sebagai hari Kemerdekaan Bangsa Papua.
Tentang bendera Bintang Kejora sendiri kenapa terus berupaya dikibarkan oleh orang Papua, diceritakan bahwa hal itu adalah dilatarbelakangi sejarah yang mencatat bahwa bendera tersebut pernah dikibarkan sebagai bendera Bangsa Papua. “Demikian juga lagu kebangsaan Papua maupun susunan pemerintahan,” ungkap Lipius Biniluk didampingi Rudya H Kare (GSJKI), Pdt. Paulus Philip (GPHI), Pdt Isai Doom,S.Th (GPT) dan Pdt. Oyang Seseray (GSDI).
Tentang berbagai isu yang beredar melalui Short Massage Service (SMS) di masyarakat yang isinys terkait 1 Desember, seperti ‘Setelah 1 Desember masyarakat pendatang harus kembali ke daerahnya masing-masing’ maupun berbagai SMS serupa, PGGP menyatakan menolak issu-issu tersebut.
Dan terkait hal tersebut, termasuk berbagai kasus lain seperti pasca Konggres Rakyat Papua (KRP) III yang menelan korban jiwa, hingga kasus di sekitar area PT Freeport Indonesia, PGGP mengeluarkan tujuh butir himbauan, yaitu :
1.    Seluruh lapisan masyarakat/umat Tuhan agar tidak terprofokasi dengan issu-issu yang menyesatkan, yang bertujuan memecah belah kehidupan kerukunan di antara umat beragama, yang berdampak pada konflik suku, RAS dan agama.
2.    Pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,agar menghentikan segala bentuk teror dan provokasi terhadap seluruh umat   Tuhan, di atas tanah Papua.
3.    Aparat keamanan agar terlibat menjaga keamanan dan tidak melakukan terror terhadap umat Tuhan , secara khusus mahasiswa.
4.    Kepada Pemerintah, agar menghentikan penambahan pasukan, yang meningkatkan keresahan terhadap masyarakat di seluruh tanah Papua.
5.    Kepada seluruh komponenmasyarakat (Legilatif, Eksekutif, institusi keamanan – TNI/polri, lembaga masyarakat sipil ) baik di Jakarta dan Papua, agar terlibat menjaga perdamaian serta mendorong/mendukung proses dialog damai, antara Papua dan Jakarta, guna penyelesaian masalah–masalah di Tanah Papua.
6.    Kepada seluruh komponen masyarakat (Legilatif, Eksekutif, institusi keamanan-TNI/polri lembaga masyarakat sipil )di Papua dan seluruh wilayah Republik Indonesia, agar tidak melakukan/menghentikan segala bentuk kegiatan, dalam bentuk apapun, yang cenderung mengambil keuntungan serta mengeliminir upaya-upaya dialog damai, yang diprakarsai oleh Jaringan Damai Papua.
7.    Sebagaimana bulan Desember adalah bulan kelahiran Yesus Kristus, yang dirayakan umat Nasrani di seluruh Dunia, maka dengan ini atas nama seluruh umat Tuhan di atas Tanah Papua, Persekutuan Gereja-Gereja papua, meminta dan  mengharapkan kepada semua pihak agar mengendalikan diri guna menjaga keamanan, ketertiban dan ketentraman, terhadap sesame agar Tanah Papua terhindar dari konflik Ras, Suku dan Agama, serta tidak menggunakan kekerasan bersenjata, dalam menyikapi berbagai kebebasan berekspresi rakyat Papua. Tetapi lebih menggunakan pendekatan kemanusiaan/persuasif.

Hendrik  Y  Udam: Aparat Keamanan Segera Tangkap Oknum Penyebar SMS  Provokatif    
Sementara itu di tempat terpisah,  Wakil  Ketua  Bidang  Politik  dan Keamanan  DPD  KNPI  Kota Jayapura  Hendrik  Y Udam  dan Ketua DPC  KNPI Distrik  Abepura  Charles  Awi mensinyalir, ada pihak- pihak  yang ingin  mengganggu  dengan mengusik  kesatuan  dan persatuan Negara Kesatuan  Republik  Indonesia (NKRI) dengan  memanfaatkan  momentum   1 Desember.
Karena itu, kata dia,  pihaknya  mendesak aparat  keamanan untuk segera manangkap  dan menindak tegas oknum oknum yang membuat suasana menjadi   tak  kondusif  dengan sengaja menyebarkan  isu  isu bernada  SARA  tersebut.   
Menurut  dia,  pihaknya  menghimbau  agar  pemuda,  mahasiswa,  pelajar  serta seluruh warga  kota Jayapura dan  Papua  tak usah  terprovokasi  dengan  isu isu yang  sengaja  disebarluaskan  pihak pihak  yang tak bertanggungjawab tersebut.  
Ketua DPC  KNPI Distrik  Abepura  Charles  Awi menegaskan pihaknya menghimbau kepada seluruh pemuda, mahasiswa  dan  pelajar   tak terprovokasi  terkait  adanya  isu  dari  oknum oknum  yang bertanggungjawab  bahwa pada  1  Desember mendatang   akan  terjadi  pengibaran   bendera  Bintang Kejora  dan lain   lain  untuk   mengancam  kedaulatan Negara Kesatuan  Republik  Indonesia.  Pasalnya, kemerdekaan rakyat  bangsa  Papua  Barat bukan sesuatu yang gampang.
“Kemerdekaan itu  sudah Tuhan  berikan kepada kita semua sehingga kita tak perlu  terkooptasi dengan isu munculnya  kemerdekaan    rakyat  bangsa  Papua  Papua Barat,”  tukasnya usai  Musyawarah  KNPI  Distrik  Abepura,  di Aula Kantor  Distrik  Abepura, Kota Jayapura, Sabtu  (26/11) petang. 
Karena  itu, lanjutnya,  tugas  pemuda,  mahasiswa, pelajar  adalah  bergerak pada bidang masing masing  seperti pendidikan, ekonomi  dan lain  lain.

Exodus in Papua amid fears of crackdown

Karlis Salna, AAP South-East Asia Correspondent

Human rights groups have called for Australian monitors to be allowed into Papua amid reports people are fleeing parts of the Indonesian province due to fears of another violent crackdown on pro-independence rallies planned for next week.
This source: http://news.smh.com.au/breaking-news
In a joint letter to Foreign Minister Kevin Rudd, Human Rights Watch and the Melbourne-based Human Rights Law Centre have called for Australian embassy staff to be deployed to the restive Indonesian province to monitor events on December 1.

Large numbers of people are expected to gather in cities and other areas in Papua on Thursday for rallies to mark an unofficial independence day and the 50th anniversary of the first raising of the Morning Star flag.

The flag has been adopted by the separatist Free Papua Movement (OPM) and is regarded as a symbol of independence in the province which has been racked by a surge in violence over the past six months.

However, the Indonesian government considers the raising of the flag an act of treason.

At least three protesters were killed and another 90 people injured last month when Indonesian police and military stormed a pro-independence rally in Abepura after the raising of the Morning Star flag.

Video of the aftermath of the rally, broadcast on Australian television, also showed police beating unarmed protesters, including children.

As many as 300 people were arrested.

A spokesman for the pro-independence group, the National Committee for West Papua (KNPB), has told AAP that large numbers of people have begun leaving Jayapura and Manokwari in Papua, fearing a backlash from security forces at rallies planned for Thursday.

As Indonesia remains off limits to foreign journalists, the report could not be confirmed.

In the letter to Mr Rudd, Human Rights Watch and the Human Rights Law Centre raise concerns about the likelihood of a repeat of last month's violence as well as the use of excessive force by the police and military.

The letter calls on Mr Rudd to urge the Indonesian government to allow full and free access of journalists to Papua and to deploy Australian embassy staff to monitor and observe events on December 1.

The human rights organisations say there should also be a full and impartial investigation into the deaths and injuries, and allegations of excessive use of force by the authorities, arising from the demonstration in Abepura on October 19.

But the letter also criticises the Australian Ambassador to Indonesia Greg Moriarty who had described the actions of the protesters at the rally as provocative.

"In our view, a clear and firm public statement on Australia's position on human rights in the area is critical, especially since there is a real risk that Australian Ambassador Greg Moriarty's recent reference to the actions of Papuan People's Congress leaders as illegal, provocative and counterproductive may otherwise be interpreted as supporting a government crackdown on the congress," the letter said.

Mr Moriarty, however, had also pointed to the response by Indonesian security forces as being disproportionate.

The letter to Mr Rudd also questions Australia's funding and training of Indonesia's elite anti-terrorism squad Densus 88, members of which were among the security forces present at the rally on October 19.

"Australia plays a critical leadership role on human rights in Asia and the Pacific and should take a principled and proactive stand on human rights with a key partner like Indonesia," the two human rights organisations said.

Indonesia has been battling a long-running but low-level insurgency since its takeover of Papua in 1969.

However, the security situation has deteriorated in recent months with the province experiencing its worst violence in years.

Figures from Indonesia's Commission for Missing Persons and Victims of Violence show at least 40 people have been killed as a result of the violence since the beginning of July.

Australia must act to protect human rights in Papua: Joint letter from HRLC and Human Rights Watch

The Australian Government should take a leadership role in promoting and protecting human rights in the troubled Indonesian province of West Papua say two leading human rights organizations in a Joint Letter to the Foreign Minister, the Hon Kevin Rudd MP.
Ahead of the 50th anniversary this Friday of the first raising of the West Papuan ‘Morning Star’ flag, the Human Rights Law Centre and Human Rights Watch have called on Minister Rudd to publically and unequivocally condemn the excessive use of force and suppression of peaceful protest and also deploy Australian embassy staff to Papua to monitor and observe anticipated events to mark the anniversary.
“Australia must unequivocally support the human rights of all persons to freedom of expression, association and assembly,” said Tom Clarke from the Human Rights Law Centre. “It is not in Australia’s strategic interest to have a festering human rights problem on our doorstep.”

“The default policy of successive Australian Governments has seemingly been to politely look the other way while human rights abuses occurred on our doorstep. This approach desperately needs rethinking. The problem of violence and repression in West Papua needs to be acknowledged and addressed,” Mr Clarke said.
The ‘Morning Star’ flag was first raised in 1961 when West Papua was moving towards independence with assistance from its colonial Dutch Government and the Australian Government. By this time, Papua already had its own government officials. However, in 1962 a chain of events eventually led to Indonesia taking control of Papua and well documented military violence and human rights abuses have plagued the province since. Today Papuans face imprisonment for simply raising the ‘Morning Star’ flag.
The letter urges Minister Rudd to call for a full and impartial investigation into recent use of force, including fatal force, by Indonesian police and military forces on a peaceful assembly on 19 October. The attacks on the Third Papuan People’s Congress resulted in at least three protesters being killed, at least 90 being injured and approximately 300 arrested.
“The West Papuan people do not enjoy the types of basic rights that we take for granted here in Australia. The right to meet to discuss ideas and express political beliefs are severely curtailed in West Papua. The international media is heavily restricted in travelling to Papua and reporting on events there. We are concerned that without international attention being focused on West Papua, human rights abuses are likely to continue,” Mr Clarke said.
The letter also requests that Minister Rudd urge the Indonesian Government to release all persons detained in Papua for the peaceful expression of their political views, including Filep Karma who the UN Working Group on Arbitrary Detention advises should be immediately released.
“Minister Rudd should follow US Secretary of State, Hilary Clinton’s lead and directly raise concerns with Indonesia about the violence and abuse of human rights in West Papua. If he has a ‘special relationship’ with Indonesia, now is the time to make the most of it and, as a friend, help Indonesia meet the commitments that it’s signed up to under the International Covenant on Civil and Political Rights,” Mr Clarke said.
The Human Rights Law Centre will be hosting a public seminar in Melbourne with Human Rights Watch’s Elaine Pearson looking at this and other human rights issues in Asia on Wednesday 7 December. Further details can be found online here.

For further comments from HRLC: contact Tom Clarke on tom.clarke@hrlc.org.au or 0422 545 763
For comments from HRW: contact Phil Robertson on RobertP@hrw.org or +66 85 060 8406

Dia Mencium Bau Surga

Di dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah rhodiyallaahu ‘anhu, Rasululllah shollallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, " Ada tujuh golongan orang yang mendapat naungan Allah pada hari tiada naungan selain dari naunganNya... diantaranya, seorang pemuda yang tumbuh dalam melakukan ketaatan kepada Allah."
Dan di dalam sebuah hadits shohih yang berasal dari Anas bin an-Nadhr rhodiyallaahu ‘anhu, ketika perang Uhud ia berkata,"Wah .... angin surga, sunguh aku telah mencium wangi surga yang berasal dari balik gunung Uhud."
Seorang Doktor bercerita kepadaku, " Pihak rumah sakit menghubungiku dan memberitahukan bahwa ada seorang pasien dalam keadaaan kritis sedang dirawat. Ketika aku sampai, ternyata pasien tersebut adalah seorang pemuda yang sudah meninggal - semoga Allah merahmatinya -. Lantas bagaimana detail kisah wafatnya. Setiap hari puluhan bahkan ribuan orang meninggal. Namun bagaimana keadaan mereka ketika wafat? Dan bagaimana pula dengan akhir hidupnya?
Pemuda ini terkena peluru nyasar, dengan segera kedua orang tuanya -semoga Allah membalas segala kebaikan mereka- melarikannya ke rumah sakit militer di Riyadh. Di tengah perjalanan, pemuda itu menoleh kepada ibu bapaknya dan sempat berbicara. Tetapi apa yang ia katakan? Apakah ia menjerit dan mengerang sakit? Atau menyuruh agar segera sampai ke rumah sakit? Ataukah ia marah dan jengkel ? Atau apa?

Orang tuanya mengisahkan bahwa anaknya tersebut mengatakan kepada mereka, ‘Jangan khawatir! Saya akan meninggal ... tenanglah ... sesungguhnya aku mencium wangi surga.!' Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan ia mengulang-ulang kalimat tersebut di hadapan para dokter yang sedang merawat. Meskipun mereka berusaha berulang-ulang untuk menyelamatkannya, ia berkata kepada mereka, ‘Wahai saudara-saudara, aku akan mati, maka janganlah kalian menyusahkan diri sendiri... karena sekarang aku mencium wangi surga.'
Kemudian ia meminta kedua orang tuanya agar mendekat lalu mencium keduanya dan meminta maaf atas segala kesalahannya. Kemudian ia mengucapkan salam kepada saudara-saudaranya dan mengucapkan dua kalimat syahadat, ‘Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah' Ruhnya melayang kepada Sang Pencipta subhanahu wa ta'ala.
Allahu Akbar ... apa yang harus aku katakan dan apa yang harus aku komentari...Semua kalimat tidak mampu terucap ... dan pena telah kering di tangan... Aku tidak kuasa kecuali hanya mengulang dan mengingat Firman Allah subhanahu wa ta'ala, " Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan akhirat." (Ibrahim : 27)
Tidak ada yang perlu dikomentari lagi.
Ia melanjutkan kisahnya,
"Mereka membawa jenazah pemuda tersebut untuk dimandikan. Maka ia dimandikan oleh saudara Dhiya' di tempat pemandian mayat yang ada di rumah sakit tersebut. Petugas itu melihat beberapa keanehan yang terakhir. Sebagaimana yang telah ia ceritakan sesudah shalat Magrib pada hari yang sama.
  1. Ia melihat dahinya berkeringat. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullaah Shallallaahu ‘alahi wasallam bersabda, "Sesungguhnya seorang mukmin meninggal dengan dahi berkeringat". Ini merupakan tanda-tanda khusnul khatimah.
  2. Ia katakan tangan jenazahnya lunak demikian juga pada persendiannya seakan-akan dia belum mati. Masih mempunyai panas badan yang belum pernah ia jumpai sebelumnya semenjak ia bertugas memandikan mayat. Pada tubuh orang yang sudah meninggal itu (biasanya-red) dingin, kering dan kaku.
  3. Telapak tangan kanannya seperti seorang yang membaca tasyahud yang mengacungkan jari telunjuknya mengisyaratkan ketauhidan dan persaksiannya, sementara jari-jari yang lain ia genggam.

Subhanalllah ... Sungguh indah kematian seperti itu. Kita memohon semoga Allah subhanahu wa ta'ala menganugrahkan kita khusnul khatimah.
Saudara-saudara tercinta ... kisah belum selesai...
Saudara Dhiya' bertanya kepada salah seorang pamannya, apa yang ia lakukan semasa hidupnya? Tahukah anda apa jawabnya?
Apakah anda kira ia menghabiskan malamnya dengan berjalan-jalan di jalan raya?
Atau duduk di depan televisi untuk menyaksikan hal-hal yang terlarang? Atau ia tidur pulas hingga terluput mengerjakan shalat? Atau sedang meneguk khamr, narkoba dan rokok? Menurut anda apa yang telah ia kerjakan? Mengapa ia dapatkan husnul khatimah (insyaAllah -red) yang aku yakin bahwa saudara pembaca pun mengidam-ngidamkann ya; meninggal dengan mencium wangi surga.
Ayahnya berkata, "Ia selalu bangun dan melaksanakan shalat malam sesanggupnya. Ia juga membangunkan keluarga dan seisi rumah agar dapat melaksanakan shalat Shubuh berjama'ah. Ia gemar menghafal al-Qur'an dan termasuk salah seorang siswa yang berprestasi di SMU."
Aku katakan, "Maha benar Allah" yang berfirman (yang artinya-red)
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Rabb kami ialah Allah' kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.' Kamilah pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Fhushilat:30- 32)
--------
Diambil dari : Serial Kisah Teladan Karya Muhammad bin Shalih Al-Qahthani, sebagaimana yang dinukil dari Qishash wa ‘Ibar karya Doktor Khalid al-Jabir.



Share

Tipe Wanita yang Disunnahkan untuk Dilamar

Dalam melamar, seorang muslim dianjurkan untuk memperhatikan beberapa sifat yang ada pada wanita yang akan dilamar, diantaranya:
  1. Wanita itu disunahkan seorang yang penuh cinta kasih. Maksudnya ia harus selalu menjaga kecintaan terhadap suaminya, sementara sang suami pun memiliki kecenderungan dan rasa cinta kepadanya.

    Selain itu, ia juga harus berusaha menjaga keridhaan suaminya, mengerjakan apa yang disukai suaminya, menjadikan suaminya merasa tentram hidup dengannya, senang berbincang dan berbagi kasih sayang dengannya. Dan hal itu jelas sejalan dengan firman Allah Ta'ala,

    Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan Dia jadikan di antara kalian rasa kasih dan saying. (ar-Ruum:21).

  2. Disunahkan pula agar wanita yang dilamar itu seorang yang banyak memberikan keturunan, karena ketenangan, kebahagiaan dan keharmonisan keluarga akan terwujud dengan lahirnya anak-anak yang menjadi harapan setiap pasangan suami-istri.

    Berkenaan dengan hal tersebut, Allah Ta'ala berfirman,
    Dan orang-orang yang berkata, 'Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa'. (al-Furqan:74).

    Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
    Menikahlah dengan wanita-wanita yang penuh cinta dan yang banyak melahirkan keturunan. Karena sesungguhnya aku merasa bangga dengan banyaknya jumlah kalian pada hari kiamat kelak. Demikian hadist yang diriwayatkan Abu Daud, Nasa'I, al-Hakim, dan ia mengatakan, Hadits tersebut sanadnya shahih.

  3. Hendaknya wanita yang akan dinikahi itu seorang yang masih gadis dan masih muda. Hal itu sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab Shahihain dan juga kiab-kitab lainnya dari hadits Jabir, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepadanya,

    Apakah kamu menikahi seorang gadis atau janda? dia menjawab,"Seorang janda."Lalu beliau bersabda, Mengapa kamu tidak menikahi seorang gadis yang kamu dapat bercumbu dengannya dan ia pun dapat mencumbuimu?.

    Karena seorang gadis akan mengantarkan pada tujian pernikahan. Selain itu seorang gadis juga akan lebih menyenangkan dan membahagiakan, lebih menarik untuk dinikmati akan berperilaku lebih menyenangkan, lebih indah dan lebih menarik untuk dipandang, lebih lembut untuk disentuh dan lebih mudah bagi suaminya untuk membentuk dan membimbing akhlaknya.

    Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri telah bersabda,

    Hendaklah kalian menikahi wanita-wanita muda, karena mereka mempunyai mulut yang lebih segar, mempunyai rahim yang lebih subur dan mempunyai cumbuan yang lebih menghangatkan.

    Demikian hadits yang diriwayatkan asy-Syirazi, dari Basyrah bin Ashim dari ayahnya, dari kakeknya. Dalam kitab Shahih al_Jami' ash_Shaghir, al-Albani mengatakan, "Hadits ini shahih."

  4. Dianjurkan untuk tidak menikahi wanita yang masih termasuk keluarga dekat, karena Imam Syafi'I pernah mengatakan, "Jika seseorang menikahi wanita dari kalangan keluarganya sendiri, maka kemungkinan besar anaknnya mempunyai daya piker yang lemah."

  5. Disunahkan bagi seorang muslim untuk menikahi wanita yang mempunyai silsilah keturunan yang jelas dan terhormat, karena hal itu akan berpengaruh pada dirinya dan juga anak keturunannnya. Berkenaan dengan hal tersebut, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

    Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscahya kamu beruntung. (HR. Bukhari, Muslim dan juga yang lainnya).

  6. Hendaknya wanita yang akan dinikahi itu taat beragama dan berakhlak mulia. Karena ketaatan menjalankan agama dan akhlaknya yang mulia akan menjadikannya pembantu bagi suaminya dalam menjalankan agamanya, sekaligus akan menjadi pendidik yang baik bagi anak-anaknya, akan dapat bergaul dengan keluarga suaminya.

    Selain itu ia juga akan senantiasa mentaati suaminya jika ia akan menyuruh, ridha dan lapang dada jika suaminya memberi, serta menyenangkan suaminya berhubungan atau melihatnnya. Wanita yang demikian adalah seperti yang difirmankan Allah Ta'ala,

    "Sebab itu, maka wanita-wanita yang shahih adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminyatidak berada di tempat, oleh karena Allah telah memelihara mereka". (an-Nisa:34).

    Sedangkan dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
    "Dunia ini adalah kenikmatan, dan sebaik-baik kenikmatannya adalah wanita shalihah". (HR. Muslim, Nasa'I dan Ibnu Majah).

  7. Selain itu, hendaklah wanita yang akan dinikahi adalah seorang yang cantik, karena kecantikan akan menjadi dambaan setiap insan dan selalu diinginkan oleh setiap orang yang akan menikah, dan kecantikan itu pula yang akan membantu menjaga kesucian dan kehormatan. Dan hal itu telah disebutkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hadits tentang hal-hal yang disukai dari kaum wanita.

    Kecantikan itu bersifat relatif. Setiap orang mempunyai gambaran tersendiri tentang kecantikan ini sesuai dengan selera dan keinginannya. Sebagian orang ada yang melihat bahwa kecantikan itu terletak pada wanita yang pendek, sementara sebagian yang lain memandang ada pada wanita yang tinggi.

    Sedangkan sebagian lainnya memandang kecantikan terletak pada warna kulit, baik coklat, putih, kuning dan sebagainya. Sebagian lain memandang bahwa kecantikan itu terletak pada keindahan suara dan kelembutan ucapannya.
Demikianlah, yang jelas disunahkan bagi setiap orang untuk menikahi wanita yang ia anggap cantik sehingga ia tidak tertarik dan tergoda pada wanita lain, sehingga tercapailah tujuan pernikahan, yaitu kesucian dan kehormatan bagi tiap-tiap pasangan.

--------
Sumber: Fikih Keluarga, Syaikh Hasan Ayyub, Cetekan Pertama, Mei 2001, Pustaka Al-kautsar


Share